Revisi UU Haji: Atasi Antrean Panjang dan Tingkatkan Layanan
Revisi UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah bertujuan mengatasi antrean panjang jemaah haji, meningkatkan transparansi, dan optimalisasi layanan.
Pemerintah dan Komisi VIII DPR tengah merevisi UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Revisi ini dipicu oleh berbagai permasalahan, termasuk antrean panjang jemaah haji yang mencapai 49 tahun di beberapa daerah, seperti di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Proses revisi melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi keagamaan, akademisi, dan kementerian terkait seperti Kementerian Agama, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kesehatan, guna memastikan partisipasi publik yang luas. Tujuan utama revisi ini adalah untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan haji di Indonesia.
Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, menyatakan bahwa revisi UU Haji sangat penting untuk menyesuaikan aturan dengan dinamika terkini, baik di Indonesia maupun kebijakan pemerintah Arab Saudi. UU yang berlaku saat ini dinilai sudah tidak relevan karena tidak lagi mampu menjawab kebutuhan penyelenggaraan haji dan umrah yang optimal. Beberapa poin dalam UU yang ada dianggap tidak sesuai dengan situasi terkini, terutama terkait aspek kelembagaan dan implementasi.
Salah satu poin penting dalam revisi ini adalah penekanan pada peran Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan kemungkinan transformasi lembaga tersebut menjadi kementerian tersendiri. Hal ini didorong oleh kompleksitas penyelenggaraan haji yang mencakup aspek keagamaan, transportasi, kesehatan, dan konsumsi, sehingga membutuhkan lembaga khusus yang fokus pada pengelolaannya. Kementerian Agama dinilai memiliki beban tugas lain yang cukup berat, sehingga perlu adanya pemisahan tugas untuk optimalisasi pelayanan haji.
Mencari Solusi Antrean Panjang dan Pemanfaatan Kuota
Revisi UU Haji juga akan membahas solusi untuk mengatasi masalah antrean panjang jemaah haji. Salah satu solusi yang diusulkan adalah pemanfaatan kuota haji negara lain. Hal ini perlu diatur dalam UU agar dapat diimplementasikan secara legal dan terukur. Selain itu, revisi juga akan menyoroti pentingnya integrasi layanan digital dan prinsip transparansi dalam pengelolaan keuangan haji.
Integrasi layanan digital bertujuan untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan haji oleh BPKH. Namun, perlu dipertimbangkan pemahaman jemaah haji, khususnya lansia dan jemaah dari daerah terpencil, terhadap digitalisasi. Sosialisasi yang efektif sangat penting untuk memastikan keberhasilan implementasi layanan digital ini.
Revisi UU juga akan membahas regulasi terkait kebijakan haji independen (independent Hajj). Skema ini dinilai dapat memberikan fleksibilitas lebih bagi jemaah dan berpotensi menggeser minat dari skema haji furoda ke skema haji independen. Hal ini akan berdampak pada pengelolaan keuangan haji, terutama jika Arab Saudi membuka akses haji independen.
Investasi Jangka Panjang dan Peran Ormas
Revisi UU Haji juga akan fokus pada beberapa aspek krusial lainnya, termasuk pengelolaan asrama haji, penugasan petugas haji, dan investasi dana haji di Arab Saudi. Marwan Dasopang menekankan perlunya regulasi investasi jangka panjang di sektor perhotelan dan katering untuk meningkatkan manfaat bagi jemaah. Wakil Ketua Komisi VIII, Abdul Wachid, menambahkan bahwa perubahan ini mempertimbangkan perkembangan di Arab Saudi, termasuk kontrak, hotel, katering, dan Armuzna (layanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina) yang kini membutuhkan kontrak jangka panjang, bukan lagi tahunan.
Organisasi-organisasi Islam juga memberikan masukan, salah satunya adalah usulan penambahan perwakilan ormas dalam kepemimpinan misi haji Indonesia di Arab Saudi. Sekretaris Jenderal DPP PUI, Kana Kurniawan, menilai hal ini penting untuk memastikan representasi yang lebih adil dalam penyelenggaraan haji. Masukan-masukan dari berbagai pihak diharapkan dapat membuat revisi UU Haji dan Umrah semakin komprehensif dan mengurangi potensi terlewatnya isu-isu penting.
Diskusi yang komprehensif dan konstruktif sangat diperlukan mengingat revisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas layanan haji di Indonesia. Dengan menyesuaikan regulasi dengan dinamika terkini, baik di Indonesia maupun di Arab Saudi, diharapkan penyelenggaraan ibadah haji dapat berjalan lebih efisien, transparan, dan memberikan kenyamanan bagi seluruh jemaah. Kolaborasi antara pemerintah, legislatif, dan berbagai organisasi terkait menjadi kunci keberhasilan revisi UU ini.