Sidang Kasus Tom Lembong: Hakim Diganti Usai Tersangka Suap
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengganti hakim anggota sidang kasus dugaan korupsi importasi gula yang melibatkan Tom Lembong setelah hakim sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka suap.
JAKARTA, 14 April 2024 - Sidang kasus dugaan korupsi importasi gula yang menyeret mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), sebagai terdakwa mengalami perubahan signifikan. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengganti hakim anggota, Ali Muhtarom, setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi terkait putusan lepas perkara korupsi ekspor CPO.
Pergantian hakim ini diumumkan langsung oleh Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin dini hari. Hakim Ketua menjelaskan bahwa penggantian tersebut disebabkan oleh halangan tetap yang dialami Ali Muhtarom, sehingga ia tak dapat melanjutkan persidangan. "Karena hakim anggota atas nama Ali Muhtarom sedang berhalangan tetap dan tidak dapat bersidang lagi, untuk mengadili perkara ini perlu ditunjuk hakim anggota untuk menggantikan," ujar Hakim Ketua.
Sebagai pengganti, PN Jakarta Pusat menunjuk Alfis Setiawan untuk mendampingi hakim anggota Purwanto Abdullah. Dengan demikian, sidang kasus Tom Lembong dapat dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi setelah penggantian hakim tersebut. Pergantian mendadak ini tentu menimbulkan pertanyaan dan sorotan publik terhadap integritas proses peradilan.
Hakim Tersangka, Sidang Tom Lembong Berlanjut
Penetapan Ali Muhtarom sebagai tersangka menjadi sorotan utama dalam perkembangan kasus ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai potensi konflik kepentingan dan transparansi dalam proses peradilan sebelumnya. Penggantian hakim anggota menjadi langkah yang diperlukan untuk menjaga integritas dan kelancaran proses hukum.
Proses pergantian hakim ini berlangsung relatif cepat, menunjukkan kesigapan PN Jakarta Pusat dalam merespon situasi yang berkembang. Langkah ini diharapkan dapat meminimalisir potensi bias dan memastikan keadilan tetap tegak dalam penanganan kasus dugaan korupsi importasi gula ini.
Meskipun terjadi pergantian hakim, sidang tetap berlanjut sesuai jadwal. Pemeriksaan saksi menjadi fokus utama setelah penggantian hakim anggota tersebut. Publik menantikan perkembangan selanjutnya dan berharap proses hukum akan berjalan transparan dan akuntabel.
Dugaan Korupsi Importasi Gula: Kerugian Negara Rp578,1 Miliar
Tom Lembong didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp578,1 miliar terkait dugaan korupsi importasi gula pada periode 2015—2016. Dakwaan tersebut didasari atas penerbitan surat pengakuan impor gula kristal mentah kepada 10 perusahaan tanpa melalui rapat koordinasi antarkementerian dan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Lebih lanjut, dakwaan menyebutkan bahwa Tom Lembong mengetahui perusahaan-perusahaan tersebut tidak berhak mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih karena statusnya sebagai perusahaan gula rafinasi. Namun, surat persetujuan impor tetap diterbitkan, yang diduga merugikan keuangan negara.
Selain itu, Tom Lembong juga didakwa karena menunjuk sejumlah koperasi, bukan BUMN, untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula. Koperasi-koperasi tersebut antara lain Induk Koperasi Kartika (Inkopkar), Inkoppol, Puskopol, serta SKKP TNI/Polri.
Ancaman Pidana bagi Tom Lembong
Atas perbuatan yang didakwakan, Tom Lembong terancam pidana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Proses hukum kasus ini masih terus bergulir, dan publik menantikan putusan pengadilan yang adil dan transparan. Pergantian hakim menjadi catatan penting dalam perjalanan kasus ini, sekaligus menjadi pengingat pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam sistem peradilan.
Kasus ini juga menjadi pelajaran berharga bagi tata kelola pemerintahan dan pengawasan terhadap kebijakan impor. Kejelasan aturan dan mekanisme pengawasan yang lebih ketat diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang.