1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. HOT NEWS

Bukan sekadar Pilgub DKI

Penulis : Asis

2 Agustus 2016 14:37

Disebut bukan sekadar Pilgub DKI karena saya melihat ada yang tak biasa dalam konteks politik Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Manuver Ahok belakangan ini seperti ada misi lain.

Masih ingat dengan candaan Ahok dalam berbagai kesempatan. Di Kampus Trisakti misalnya, Ahok minta doa kepada para mahasiswa agar bisa menjadi presiden. "Doakan saya supaya bisa berkantor di Medan Merdeka Utara, Merdeka Utara itu maksudnya kantor presiden," canda Ahok kala itu.

Menurut saya, itu bukan candaan biasa. Sebagai seorang politikus, Ahok memang berambisi menjadi orang nomor 1 di negeri ini. Ahok juga pernah mengamini hal ini ketika ditanya soal cita-citanya menjadi presiden. "Saya mau jadi presiden. Karena kunci (menata negara menjadi baik dari semua sisi) semua ada di presiden. Supaya bisa kontrol semua pejabat," kata Ahok tahun lalu.

Lalu apa kaitannya dengan politik Pilgub DKI? Untuk saat ini bicara soal pilpres tentu masih jauh. Tapi ada investasi politik jangka panjang yang ingin ditanam Ahok. Mulainya tentu dari DKI. Dia kali ini sadar, tak mungkin marahan, apalagi meninggalkan PDIP. Mendekat ke PDIP adalah pilihan rasional Ahok. Sekali dayung, dua pulau terlampaui.

Sebab kalkulasi politik awal Ahok ternyata meleset. Dengan dirinya maju independen diharapkan PDIP akan mengikuti langkah NasDem, Hanura dan Golkar, ternyata tidak. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri ternyata tak memberikan tiket gratis pada Ahok. Malah hubungan keduanya semakin renggang. Gawat...

Ahok sadar dan menangkap sinyal itu. Dia tak mungkin meninggalkan Mega dan PDIP. Ahok butuh PDIP, tidak hanya untuk saat ini, tapi jangka panjang. Politikus mana yang bisa seperti Ahok, dekat dengan Mega tanpa menjadi kader. Sedangkan kader sendiri saja belum tentu bisa sedekat itu dengan Mega. Masa sudah dekat mau dirusak sia-sia. Coba kalau Ahok kurang dekat apa, bercanda dan sarapan pagi saja bareng. Blunder bagi Ahok jika nekat meninggalkan PDIP.

Sekarang Ahok mencoba membangun kembali komunikasi dengan Mega. Ga gampang ternyata bagi Ahok untuk kembali komunikasi. Sampai Jokowi harus turun tangan. Beruntung Ahok mengenal dekat Jokowi yang saat ini menjadi presiden. Kalau bukan Jokowi, siapa lagi bisa menyambung benang putus akibat manuver Ahok memilih Teman Ahok.

Kenapa harus PDIP? Kendaraan ini paling rasional dipakai Ahok jika masih berambisi menjadi presiden atau wakil presiden. Coba Anda lihat saat ini, Ahok paling dekat dengan ketua umum partai ya hanya PDIP. Sama Ketua Umum Partai Demokrat SBY jauh, apalagi dengan elite Gerindra, ga mungkin banget. Sedangkan Golkar, sulit dipegang. Satu-satunya yang berpeluang adalah PDIP.

PDIP adalah pilihan rasional, kenapa? Prediksi saya pada pilpres 2019 suara PDIP masih tinggi. Suara PDIP nanti akan mengikuti elektabilitas Jokowi di tengah masyarakat. Jokowi dan PDIP tak bisa dipisahkan dalam meraup suara. Survei terakhir SMRC saja bisa dilihat, tingkat kepuasan publik dalam 2 tahun kinerja pemerintah Jokowi mencapai 67 persen. Ini angka cukup bagus dalam 2 tahun memerintah.

Nantinya, angka kepuasan publik akan meningkat tajam menjelang pilpres 2019, dengan catatan Jokowi mampu mengendalikan sektor ekonomi. Selain itu ada alasan lain mengapa kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi bakal meningkat lagi.

Simpel saya melihatnya. Ga perlu pakai rumus politik yang rumit. Anda boleh setuju atau tidak. Saya menangkap, pada 2019 ada beberapa proyek andalan yang menjadi kebanggaan Jokowi. Kereta Cepat, MRT, jalan tol di berbagai daerah, jembatan, waduk. Semua mega proyek infrastruktur itu ditarget 2018-2019 harus selesai. Anda tahu kan, yup Jokowi nanti yang meresmikan. Proyek-proyek ini nanti akan menjadi kebanggaan dan memberikan pesan ke publik kalau dirinya berhasil. Yang menikmati citra ini siapa, ya Jokowi dan PDIP.

Saat ini Golkar saja bisa menangkap sinyal itu. Elite Golkar tak ingin keberhasilan Jokowi nanti hanya diklaim PDIP. Golkar juga ingin menikmati kue itu. Karena itu, jauh-jauh hari Golkar sudah berani mendeklarasikan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.

Kembali ke Ahok, jika masih berambisi jadi presiden pilihan tepatnya adalah terus mendekat ke PDIP, bukan malah menjauh. Karena di pilpres tidak ada independen. Ahok punya peluang besar menjadi wapres mendampingi Jokowi. Popularitas Ahok sudah tak terbantahkan.

Menjadi gubernur DKI untuk kali kedua adalah satu langkah menuju jalan mulus menjadi calon presiden atau wakil presiden. Dari gubernur DKI dengan mudah meraih popularitas dan citra. Semua media pusatnya di Jakarta. Asal kerja nyata, citra datang dengan sendirinya. Karena itu orang berbondong-bondong ingin jadi gubernur DKI.

Jadi jangan heran kalau tiba-tiba Ahok seperti ngemis ke PDIP. Atau melo menghadapi Pilgub DKI. Saya melihatnya bukan tentang Pilgub DKI saja.

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : asisbanget

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya