1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. HOT NEWS

Kocok Ulang Klise Kabinet Jokowi

Penulis : Ardyan M. Erlangga

27 Juli 2016 15:51

Ada satu hal paling membuat saya risih atas kehebohan kocok ulang menteri di kabinet jilid II, pada Rabu (27/7). Yakni Presiden Joko Widodo melakukan manuver politik tidak imajinatif sama sekali. Sama plek rezim sebelumnya.

Apa sisi yang tidak imajinatif? Ya itu, misalnya mengganti berombongan menteri dalam satu waktu, diumumkan semendadak dan sedramatis mungkin, sengaja memberi sinyal dikit-dikit, sehingga publik sibuk menerka-nerka siapa menteri terbuang dan yang masuk kabinet beberapa minggu sebelumnya. Itu jelas gaya SBY. Dan memang sejak SBY kocok ulang jadi drama banget.

Semakin klise karena pasti muncul pengamat politik, kolom media, serta sebagian komentator fokus membahas partai ini akhirnya dapat, partai itu dikurangi jatahnya, dan sebagainya. Lalu, pasti muncul manusia dari rezim sebelumnya menuding Jokowi tidak memenuhi janji memutus politik transaksional. Bosan! Begitu mulu.

Pengamat politik dan akademisi beberapa kali bilang publik Indonesia harus membiasakan diri dengan kocok ulang kabinet, di banyak negara juga begitu. Jubir presiden dan seskab berulang kali menekankan bahwa kocok ulang peristiwa politik yang ((BIASA)) saja, mengingat presiden punya hak prerogatif mengganti bawahannya.

Tapi, bagaimana bisa publik bersikap biasa saja, manakala persepsi yang dibangun tentang kocok ulang kabinet selalu seperti ini: satu hari khusus dialokasikan presiden membagi kue kekuasaan kepada setiap pemangku kepentingan dan pendukungnya.

Kocok ulang kabinet dilakukan sejak era Presiden Soekarno, hanya dua bulan setelah kabinet pertama dilantik pada 2 September 1945. Jenderal Soeharto pun mengocok ulang kabinet selepas pemilu 1971. Artinya semua rezim di negara ini pernah melakukan kocok ulang posisi menteri, setidaknya sekali selama memerintah.

Lalu kenapa, katakanlah media massa dan pengamat politik, menempatkan kocok ulang kabinet sebagai isu besar sejak era SBY serta mulai dipersepsikan sebagai keniscayaan praktik bernegara kita siapapun presidennya?

Paruh kedua kekuasaan Soeharto, terutama setelah berhasil melakukan fusi parpol, adalah persepsi yang menancap di benak banyak generasi baby boomer dan generasi X negara kita. Citra kabinet utuh yang bekerja selama lima tahun penuh. Sehingga pelajar yang menghafal RPUL tidak perlu beli buku baru dengan daftar menteri direvisi.

Saya pikir mulai ada drama, ketika terjadi pemanggilan sosok menteri ataupun calon menteri ke istana oleh SBY yang bisa diliput wartawan. Sementara publik kebanyakan cenderung biasa merespon kocok ulang era Habibie, Gus Dur, atau Megawati (kecuali pencopotan SBY), karena situasi politik nasional masih dalam masa transisi. Alhasil, SBY sebagai politikus yang pernah merasakan berkah citra positif dari perombakan kabinet, punya kesadaran khusus memandang wewenang kocok ulang menteri sebagai kartu as konsolidasi kekuasaan.

Publik saya yakin bukannya belum biasa dengan tradisi kocok ulang kabinet. Justru elit politik yang tidak pernah biasa dan siap menghadapi perombakan kekuasaan, lalu koar-koar di media massa. Hal itu diperparah respon presiden yang pakai gaya reshuffle basi era lama. Huft.

Kasus Indonesia - yang mana kocok ulang gayanya mirip sistem parlementer karena mengacu pada konstelasi parpol pendukung padahal secara de jure presidensial - tidak istimewa.

Indonesia cenderung menyerupai praktik demokrasi Brasil. Di Negeri Samba, Presiden Dilma Rousseff - yang tempo hari dimakzulkan - didukung sembilan partai politik saat menang pemilu. Jabatan menteri lalu dibagi proporsional kepada parpol pendukung.

Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart memperingatkan jauh-jauh hari, agar publik sebuah negara bersistem presidensial tidak kaget seandainya pola pengambilan kebijakan politik seorang presiden malah mirip parlementer. Istilahnya presidensialisme berbasis parpol.

"Presidential systems vary so greatly in the powers accorded to the president, the types of party and electoral systems with which they are associated, and the socioeconomic and historical context in which they are created that these differences are likely to be as important as the oft-assumed dichotomy between presidential and parliamentary systems."

Kalau ditanya, yang imajinatif itu lantas seperti apa? Saya akan jawab sepatutnya ada terobosan gaya kocok ulang tak seperti yang pernah terjadi di era-era lalu. Toh tujuan yang ideal selalu sama kok, memuaskan persepsi publik ketika terjadi pergantian kabinet.

Misalnya saja, kenapa harus satu hari berombongan? Kalau satu-satu, dicicil, bertahap, berbasis momen tertentu, apa tidak mungkin?

Di Amerika Serikat, sebagai perbandingan, reshuffle terjadi beberapa kali selama masa pemerintahan Barack Obama. Tapi pergantian menteri jarang dipersepsikan sebagai manuver politik Obama yang menghebohkan atau kontroversial. Kenapa?

Sebab kebanyakan pergantian menteri di kabinet AS terjadi ketika ada yang mundur. Ini cara halus sebenarnya. Menteri Kesehatan dan Layanan Sosial, Sylvia Mathews Burwell, menggantikan Kathleen Sebelius yang diserang akibat beberapa poin teknis kebijakan Obamacare, lalu mundur pada 11 April 2014.

Jangan lupa juga, nyaris semua menteri di AS berasal dari partai si presiden. Artinya, biasa aja sebetulnya kalau orang parpol masuk pemerintahan. Di Indonesia masalahnya kapasitas calon menteri dari parpol dipersepsikan buruk. Akhirnya yang mengemuka lebih sering spekulasi serta aroma bagi-bagi kekuasaan.

Saya membayangkan, penggantian menteri berkinerja buruk - katakanlah itu alasan utamanya - langsung saja dilakukan ketika muncul blunder atau kesalahan kebijakan serius. Tak perlu berombongan. Saya justru optimis justifikasi penggantian si anu oleh si itu lebih mudah dikomunikasikan pada publik ketika momentumnya jelas, kesalahannya bisa diamati publik, serta dilakukan cepat tanpa ada bumbu-bumbu spekulasi terlalu lama. Pola kocok ulang demikian seharusnya dijajal oleh presiden yang konon bukan bagian dari lingkar elit politik lama negara ini. Tapi ya balik lagi, sepertinya manuver yang tidak imajinatif masih menancap di lingkar elit Istana maupun para penasehatnya.

Pada akhirnya saya tidak mengomentari kualitas nama-nama baru yang masuk kabinet, kenapa si A, B, C diganti, apa alasan presiden, dan lain sebagainya. Sudah banyak analisis kritis dan menarik bertebaran di media sosial maupun media massa.

Mau kita heboh seperti apapun, saya hanya ingin mengingatkan kenyataan pahit.

Kita ini fana, Wiranto abadi.

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : ardyan-m-erlangga

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya