1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. INSPIRA

Mencari Kopi di Negeri Berawan

Penulis : Erri Subakti

15 Juli 2018 10:34

Pokja Papua bersama SCOPI (Sutainable Coffee Platform Indonesia) Lakukan Pelatihan Budidaya dan Pasca-panen Kopi Berkelanjutan di wilayah pegunungan tengah, Mepago dan Lapago, di Papua.

Udara dingin menyergap. Titik-titik air dari langit seakan tak berhenti sejak lepas siang. Kami menuju ke wilayah Distrik Mapia di Kabupaten Dogiyai. Jalan terus menanjak berkelok-kelok, mendaki ke gunung Dogiyai. Wilayah yang pada puluhan tahun sebelumnya terkenal dengan produksi kopi arabikanya.

Perkebunan kopi di wilayah adat Mepago (Dogiyai, Deiyai, dan Paniai) di Papua ini mulai dikembangkan sejak awal Belanda masuk ke Papua. Mereka mencoba menumbuhkan tanaman kopi arabika yang memang cocok untuk ditanam di wilayah pegunungan. Belanda mendarat di Danau Paniai dengan pesawat jenis amfibinya, yang bisa mendarat di air.

Dari Paniai di ketinggian 1700 meter dari permukaan laut, hingga Dogiyai yang memiliki ketinggian 1500 meter dari permukaan laut. Tanaman kopi ditanami oleh para penduduk asli Papua. Pengembangan ini tak lepas dari peran misionaris yang membantu penduduk asli Papua dengan memberikan selimut, namun dengan syarat harus menanam kopi. Mereka diberikan sekop untuk bekerja.

Kopi-kopi yang dihasilkan langsung diterbangkan dari wilayah pegunungan tengah Papua untuk memenuhi pasokan kopi yang tidak pernah surut permintaannya di berbagai negara.

Seiring waktu, usaha ini terus berkembang hingga akhir abad ke-20. Sejak misionaris sudah tidak lagi berada di wilayah Mepago, usaha kopi ini berangsur-angsur menurun karena transfer knowledge dalam rantai bisnis kopi tidak paripurna diserap oleh penduduk asli Papua. Yang mereka tau hanya bertani kopi, panen dan budidaya pasca-panen, tapi tidak dengan pengembangan industri bisnisnya.

Pertanian kopi justru semakin ambruk di saat kebijakan pemerintah RI memberikan berbagai macam program bantuan seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai), Raskin, dan beberapa program dengan dana sangat besar lainnya untuk penduduk Papua. Rakyat menjadi semakin dimanjakan dengan bantuan-bantuan tersebut namun sayangnya justru tidak memotivasi untuk bekerja keras mengembangkan pertanian kopi di Papua.

Secara perlahan, usaha P5 (Pusat Pertanian, Perkebunan, Perikanan, dan Peternakan) di Dogiyai yang biasa menyerap hasil panen kopi para petani di wilayah Mepago, mulai kolaps karena beratnya memenuhi kebutuhan pasar dengan kesulitan akses transportasi keluar dari wilayah tersebut.

Kesulitan yang dihadapi P5 berimbas ke petani. Harga biji kopi hijau pun turun bebas hingga hanya sekitar Rp 2000 per kg-nya. Perut masyarakat harus terisi makanan. Para petani pun mengalihkan kebun-kebun kopinya untuk digantikan dengan kebun ubi yang bisa menjamin keberlangsungan kehidupan mereka.

Kebun kopi susut hingga hanya puluhan (tak ebih dari 50) tanaman saja yang dimiliki tiap keluarga. Itu pun banyak yang tak terurus. Perkembangan urbanisasi di daerah Dogiyai, Deiyai dan Paniai tak terelakan, kontaminasi kehidupan modern membuat budidaya tanaman kopi sudah tidak menarik lagi.

Namun hal ini tidak terlalu berpengaruh dengan para penduduk di Kampung Modio di Distrik Mapia Tengah. Justru karena akses jalan menuju ke kampung Modio ini tidak mudah dari kota kabupaten maka tidak ada pilihan lain bagi para penduduk di kampung tersebut untuk terus melestarikan pertanian kopi mereka.

Sebuah Pastoran (kediaman para pastor) di Distrik Mapia akhirnya ikut menyerap hasil panen kopi para petani dari kampung Modio. Pastor sendiri yang terkadang menjemput hasil panen kopi petani untuk diproses di Pastoran hingga menjadi roasted beans atau pun kopi bubuk arabika yang siap dipasarkan ke para pemesan kopi specialty.

Kampung ini berada di gunung Dogiyai. Jalan menuju ke kampung ini belumlah di-aspal.  Tak hanya berkelok-kelok naik dan turun, jalan menuju kampung ini, terkadang mendaki dengan kemiringan yang cukup curam.

Meski waktu baru menunjukkan pukul 2 siang namun kabut mulai menghalangi jarak pandang kami yang hanya bisa melihat 10 meteran saja. Orang yang lewat hanya seperti bayangan dari kejauhan. Basah udara dan dinginnya cuaca membuat kami merapatkan ritsleting jaket.

Kami pun sampai di tepi sungai dimana sedang ada pembangunan jembatan sebagai akses lalu lintas dari dan ke kampung Modio. Mobil kami tidak dapat melanjutkan perjalanan, meski kampung Modio sebenarnya hanya tinggal 1-2 km lagi. Para penduduk kampung, atau orang luar bisa ke luar atau ke dalam dengan berjalan kaki melalui jalan memutar di lereng-lereng pegunungan yang tinggi ini, dan menyeberangi sungai melalui jembatan gantung.

“Kita perlu jalan kaki sekitar 2 jam, mendaki gunung, dengan kontur tanah yang sulit untuk dipijak agar tiba di Kampung Modio,” jelas Felix Makai, penduduk asal kampung Modio yang menunjukkan kami jalan untuk ke kampungnya.

“Saya teringat ketika bersekolah di kota dulu, untuk kembali ke kampung, saya harus naik gunung ini dengan berjalan kaki. Kalau pagi-pagi saya berangkat dari Moanemani (Ibukota Kabupaten Dogiyai), tiba di puncak ini siang hari. Saya istirahat, makan ubi, minum, lalu turun ke kampung,” ujarnya mengenang.

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : erri-subakti

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya