1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. INSPIRA

Petuah bijak di balik mitos orang hamil dilarang pindah rumah

Penulis : Mas Win

21 Juli 2016 13:35

Seorang teman tiba-tiba mengirimkan pesan singkat lewat WhatsApp (WA). Dari pesannya, temanku yang seorang perempuan ini tampak bahagia, tetapi juga menggelayut kesedihan di benaknya.

"Aku hamil 2 bln, mau pindah rumah tapi kata mertua gak boleh, klo lagi hamil," tulis pesan singkat itu.

Sekitar 6 bulan yang lalu, masalah serupa juga menimpaku. Istri hamil 8 minggu (anak kedua) dan rumah 'impian' yang dibeli dengan inden dan KPR dinyatakan sudah selesai dibangun dan siap ditempati. Namun kabar kehamilan istriku ternyata menyulut Bapakku untuk sedikit memberi wejangan.

"Nek miturut wong Jowo, neng lagi mbobot (hamil) ki ora entuk pindahan mas," ujar Bapak menasihati lewat sambungan telepon.

Aku cuma bisa mengiyakan tanpa membantah. Meski bapak cukup demokratis untuk bisa menerima pendapat lain, namun garis lurus (tradisi Jawa) seolah membuatku tidak bisa melenceng dari wejangan Bapak.

Aku tidak bertanya alasan mengapa wanita hamil dilarang pindah rumah. Mitos larangan itu itu juga sudah tidak asing di telingaku.

Aku menebak, jawaban tak irasional dan jauh dari nalar karena bersumber pengalaman masa lampau akan keluar dari Bapak. Namun ternyata siang itu Bapak memberi penjelasan yang ilmiah, atau paling tidak sedikit ilmiah. Tak cuma itu, solusi (agak gak ilmiah) juga diberikan. Bapak rupanya cukup tahu kegalauan anak sulungnya.

"Dulu waktu Ibu mu hamil kakakmu, bapak juga pindah kontrakan. Yang namanya pindahan ya pasti angkat-angkat barang berat, jadinya malah kakakmu tidak bisa diselamatkan, kakak mu meninggal di kandungan. Bapak cuma ngingetin, nek istri hamil jangan suruh angkat yang berat-berat. Jangan suruh kerja berat dulu," ujar Bapak.

Bapak tipenya sama dengan Mbah Kakung (kakek). Semua larangan atau pantangan yang dia berikan kepada anak atau saudaranya diberi contoh kasus. Entah benar entah tidak, tapi hal ini membuat setiap larangan atau perintahnya diikuti.

Sekitar 18 tahun lalu waktu aku mau disunat, bapak tidak menggunakan hitungan hari. Aku diputuskan akan sunat saat liburan panjang sekolah, dengan harapan tidak menggangu jadwal sekolah. Namun Mbah Kakung (Sekarang sudah almarhum) saat itu punya pertimbangan lain. Sunat tidak bisa dilakukan sembarang hari. Sunat harus menggunakan hari baik yang dicari dari pasaran hari lahirku (weton) sesuai yang tertulis dalam Kitab Primbon Bhetal Jemur Adamakna.

"Kowe inget anakke lik mu, sunat gak pakai itungan hari, jadinya sembuhnya lama. Apa kowe mau anakmu gitu. Masih punya orangtua, mbok ya nggugu (nurut)," ujar Mbah Kakung nyemprot Bapakku waktu itu.

Rencana logis bapak saat itu kalah dengan prinsip Mbah Kakung yang bersumber dari pengalaman yang menurutku lebih karena kebetulan saja. Bapak akhirnya ngalah. Dan hari baik itu jatuh sesudah masuk sekolah. Terpaksa aku izin 3 hari untuk sunat. (Sejak kecil tinggal Kota Bogor, di sana anak kecil-kecil sudah sunat tapi aku SMP baru sunat)

Balik soal pindahan. Bapak membolehkan aku dan istri tetap pindah rumah dengan beberapa syarat. Ibu mertua memberi restu. Kalau Ibu mertuaku juga melarang maka batal pindahan. Pindahan boleh kalau istriku sudah melahirkan. Untung Ibu mertuaku (meski juga Jawa) tidak terlalu 'kolot'.

"Boleh, Bismillah mawon Mas. Insyallah tidak ada apa-apa. Banyakin berdoa," ujar Ibu Mertua yang juga dari ujung telepon.

Selain izin dari Mertua, Bapak meminta syarat lain. Syarat itu harus dibawa istriku sendiri (tidak boleh diwakilkan). Bawa sapu lidi, bantal, tikar dan sejumput tanah. (Semuanya enteng).

Sebelum masuk rumah baru, dari mobil bak, istri mengambil sapu lidi, bantal, segulung tikar dan sejumput tanah dari rumah kontrakan lama. Istri lalu masuk ke rumah baru yang masih bau cat dengan menenteng barang-barang itu. Setelah itu barang-barang diletakkan di dalam rumah, sedangkan tanahnya ditaburkan di halaman depan.

"Maksudnya biar istrimu betah di rumah baru. Bantal dan tikar simbol tidur nyenyak, sapu sebagai simbol kerja di rumah juga enak. Maksudnya biar betah sama kayak di kontrakan lama, kalian kan betah juga," ujar Bapak beberapa hari setelah aku pindah rumah.

Sebulan setelah menempati rumah baru, bapak kembali datang menjenguk dengan naik motor. Dengan membawa dua tanaman setinggi satu meter di kanan kiri jok belakang, bapak kembali memberi nasihat.

"Rumah yang enak itu yang adem, ya adem hawanya ya adem penghuninya. Bapak bawain bibit pohon mangga dan jeruk. Nanti Bapak tanamin sekalian di depan rumah satu di halaman belakang satu. Nek rumah adem itu enak," ujar Bapak.

Bapak hanya lulusan SD, istilah Global Warning tentu sangat asing. Bahkan melafalkannya saja mungkin sulit. Tetapi kalau soal kearifan lokal, tanpa belajar atau tahu istilah Global Warning, Bapak dan Mbah Kakung, bahkan Buyut dan ke atasnya lagi sudah melakukannya. Satu rumah minimal ditanam 4 pohon di setiap sudutnya. Supaya adem.

Kearifan lokal atau mitos terkadang memang di luar nalar, tidak logis, mistik, kejawen, dan sebagainya. Namun jika kita memahami arti dan maksudnya, mungkin ada maksud dan manfaatnya. Mungkin saja kita tidak tahu dan tidak mau bertanya, atau bisa jadi kita kurang peka untuk menggali.

Jadi (sekadar saran) kalau mau pindah tapi hamil, menurutku silakan pindah, tapi jangan ngangkat barang yang berat-berat (Wanita yang hamil). Toh dokter di seluruh dunia pun sepakat, orang hamil tidak boleh kerja berat. Soal sapu lidi, bantal, tikar dan sejumput tanah, itu mah percaya gak percaya saja. Percaya syukur nggak juga gak papa, tapi kalau pendapatku, gak ada salahnya menuruti nasihat orangtua toh tidak ada negatifnya juga.

Salam pindah rumah..
Warga Pura Bojonggede

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : mas-win

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya