1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. INSPIRA

Planet MERDEKA tidak butuh LIKE-mu rek.. Planet Merdeka butuh tulisanmu...!

Penulis : Deka Adrianto Utomo

14 Juni 2016 15:25

Ketika kita melihat keadaan pers saat ini, ada baiknya kita berkaca pada sejarahnya di masa lalu. Sejarah mencatat, pers yang pertama di Indonesia adalah ‘Indonesia Merdeka’, didirikan oleh Indische Vereeneging, organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Karena tumbuh pada zaman kolonial, ia sarat dan tumbuh dengan jiwa dan nilai-nilai nasionalisme. Pada masa pendudukan Jepang, pers mahasiswa mati suri karena terbuai janji semu Jepang untuk memerdekakan Indonesia.

Dalam sistem demokrasi liberal di tahun 1950-an, dan di awal masa demokrasi terpimpin, pers mahasiswa kembali bermunculan. Keberadaannya cukup diperhitungkan baik oleh pemerintah maupun rakyat. Bahkan di awal tahun 1970-an, pers mahasiswa sempat mengalami masa keemasan. Sebut saja ‘Mahasiswa Indonesia’, Harian KAMI dan ‘Mimbar Demokrasi’, yang dibaca tidak hanya oleh mahasiswa tetapi juga oleh masyarakat umum. Oplahnya cukup besar, antara 30.000-70.000 eksemplar.

Sayangnya, pasca peristiwa Malari 1974, pers mahasiswa sempat dilarang terbit oleh pemerintah karena dianggap memprovokasi kerusuhan. Keadaan ini diperparah oleh pemberlakuan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) pada 1978. Peraturan tersebut agaknya sengaja dibuat oknum Orde Baru untuk membatasi ruang gerak gerakan kemahasiswaan. Hal ini kemudian berimbas kepada lingkungan pers mahasiswa yang dianggap sebagai salah satu elemennya.

Intervensi pemerintah secara berlebihan juga menyebabkan banyak pers mahasiswa yang dibredel; kalaupun masih dibiarkan hidup, isinya seringkali disensor habis. Tidak hanya mendapat pembatasan dari penguasa negara, pers mahasiswa juga diawasi ketat oleh pihak rektorat universitas. Banyak aktivisnya yang diskorsing atau dipersulit kelulusannya. Tidak heran apabila pada jaman itu pers mahasiswa menjadi lembaga yang dihindari oleh mahasiswa sendiri.

Pers di Era Reformasi

Dengan sejarah yang pahit di masa lalu maka wajar bila sampai saat ini pers masih belum bisa menjadi primadona. Memang keadaan di era reformasi ini lebih kondusif – kebebasan pers mulai bisa lebih bergema dan didukung oleh perkembangan teknologi sebagai penunjang penerbitan jauh lebih maju dibandingkan era 1950-1970-an. Gerakan kemahasiswaan pun mulai menampakkan kemandiriannya.

Namun ternyata ada permasalahan dan tantangan lain yaitu mengenai persoalan SDM (Sumber Daya Manusia). Jarang sekali ada mahasiswa zaman sekarang yang berminat di bidang jurnalistik. Realita lain adalah kemalasan sosok mahasiswa untuk menulis tulisan ilmiah. Mahasiswa menulis tulisan ilmiah sebatas untuk memenuhi tuntutan perkuliahan saja.

Sebenarnya, hal ini berakar dari menurunnya minat baca mahasiswa, karena mustahil seseorang dapat menulis bila tidak rajin membaca. Padahal, bacaan ilmiah yang tersedia sekarang lebih kaya daripada zaman orang tua mereka. Soal harga buku yang mahal, toh bisa disiasati dengan meminjam dari perpustakaan. Kalaupun masih kurang bisa juga mencari literatur pendukung melalui internet.

Kalaupun kuantitas mahasiswa yang mau terlibat dalam pers mahasiswa sudah terpenuhi, kendala yang dihadapi adalah bagaimana meningkatkan kualitas mereka. Mengkader mahasiswa untuk bisa menulis dengan baik adalah pekerjaan yang melelahkan karena mereka itu hanya terkesan NATO (Not Active Talk Only).

Mahasiswa di era sekarang harus sering diminta menulis dan dievaluasi akan tetapi hasilnya pun belum tentu signifikan karena kebanyakan dari mereka terkesan mempunyai pribadi yang manja dan tidak peka akan kondisi sosial yang terjadi.

Dalam hal pengkaderan, kita dapat menggelar pelatihan-pelatihan jurnalistik dengan praktik terjun ke lapangan. Bila ada kampus yang kurang mampu menyelenggarakan pelatihan ini, dapat diterapkan kerja sama antar kampus. Malah lebih baik bila dua atau tiga kampus dapat bersama-sama membuat pelatihan jurnalistik, karena memungkinkan para aktivisnya untuk bertukar pikiran.

Siapa tahu, problem yang dihadapi pers mahasiswa suatu kampus telah dialami dan bisa diselesaikan oleh kampus lainnya. Pengurus pers mahasiswa juga harus aktif melakukan personal approach kepada mahasiswa lainnya, agar mereka mau ikut terlibat.

Semua masalah yang menghadang pers mahasiswa saat ini dapat diselesaikan, asalkan para aktivisnya benar-benar mau berusaha. Harus disadari pula bahwa untuk menyelesaikan masalah-masalah itu dibutuhkan waktu dan proses yang panjang, karena itu semua berpulang kembali kepada mental masing-masing mahasiswa dan dukungan dari pihak kampus.

Apakah Kita sebagai pembaca, penulis, atau penikmat pers dalam jurnalisme harus sabar menanti hasilnya, 1 bulan, 1 tahun, 3 tahun atau 5 tahun.

Apapun itu Percayalah, apa yang kita tabur saat ini tidak akan pernah sia-sia, jadi semua komitmen itu kembali kepada kita semua. Apapun latar belakang profesi, usia dan pendidikan kita mari kita bergerak cepat dan dinamis untuk berkontribusi pesan dan informasi anda melalui Planet Merdeka. MERDEKA tidak butuh LIKE-mu rek.. Planet Merdeka butuh tulisanmu...

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : deka

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya