1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. LIFESTYLE

Bulan Biru

Penulis : Intan Umbari Prihati

16 Juni 2016 20:39

“Wajahmu indah” aku tahu apa yang telah aku ucapkan. Sebuah ucapan dari kejujuranku yang terucap keluar begitu saja dari mulutku tanpa ada penghambat satupun yang menjejal, ketika kulihat engkau kembali bersapa padaku, pada waktu yang sama, dan pada tempat yang sama pula. Kau tidak pernah berkata apapun padaku, terutama tentang aku yang selalu duduk termenung ketika kupandang wajahmu dan kau yang selalu duduk terdiam ketika tatapku membalas tatapmu. Apakah kau tahu bahwa aku mencintaimu? Apakah kau tahu bahwa wajahmu begitu indah? Apakah kau tahu bahwa aku adalah bulan birumu yang selalu kau pandang pada malam-malammu?.

Aku ingin hadir di hadapmu, memberanikan hatiku untuk menggenggam erat jemarimu yang halus. Aku tidak ingin hanya selalu menjadi penghias malam yang kau lihat dari kejauhan. Aku ingin kau tahu siapa aku yang selalu ingin duduk di sampingmu. Ketika kau menengadahkan matamu yang jelita padaku, yang selalu ingin mendekap dinginnya tubuhmu ketika malam sunyi menusukkan anginnya di tubuhmu, memberikan kehangatan agar kau senantiasa merasa hangat ketika kau datang pada malam padaku.

Kini kau kembali duduk di taman itu, memandang ke arahku seperti pada setiap malam kau datang. Setiap malam itu seakan menjadi panah yang terlepas menusuk hatiku, menjadikan sebuah kesakitan akan sebuah sensasi keinginan yang tidak dapat aku dapatkan. Keinginan itu sekarang kurasa kian memuncak dan aku yakin aku tidak dapat menahannya, keinginan itu tengah meledak-ledak berkecamuk dalam hati. Keinginanku untuk menjadi manusia. Keinginanku pada Tuhan, sebuah permohonan.

“Ooh Tuhan, aku ingin menjadi manusia” pintaku menengadah, “agar aku dapat sekedar menemuinya. Menemui wanita itu. Wanita yang aku cintai. Ya Tuhan, aku bersujud padamu memohon”. Tak ada jawab yang kudengar, hanya gemintang yang berbisik di kejauhan semesta raya yang kudengar resah.
Telah hilanglah semua keinginan, kupendam dalam dada hingga lelap merayapi mata dan lenyap diiringi datangnya sang raja siang.


Sebuah sentuhan yang halus kurasakan. Sebuah sentuhan yang tak pernah aku dapatkan. Sentuhan?!. Aku adalah bulan, benda langit yang selalu berdiri menemani bumi. Tak pernah ada seorangpun yang dapat datang padaku, bahkan para musia yang mencoba datang dengan pesawat-pesawat canggihnya sekalipun. Astaga!.
Dengan kekalutan aku membuka mataku dan kulihat beberapa manusia memperhatikanku, mengerubungi diriku.
“mas, ini pakai handuknya” seorang manusia berkumis memberikan sebuah kain lembut yang wangi untuk menutupi tubuhku yang tanpa penutup sekalipun. Segera kupakai handuk itu menutupi sebagian tubuhku. Mausia yang memberikan handuk padaku memapahku menuju sebuah kursi yang terletak dekat dengan sebuah gerobak penjual makanan yang aromanya dapat kucium melalui udara yang mengalir melewati udara.

“Di mana aku?”.
“Di taman Pelangi mas”.
“Taman Pelangi? Dimana itu taman Pelangi?”.
“Di Jakarta mas”.
“Jakarta? Di mana Jakarta itu?” terlihat manusia itu menatap aneh padaku.
“Sudahlah mas tak usah terlalu dipikirkan. Mas lebih baik istirahat saja dahulu”.
“Memangnya saya kenapa pak?”.

Manusia itu menunjuk sebuah lubang tepat di jalan raya. Astaga, aku sekarang telah menjadi manusia dan sekarang akibat dari aku menjadi manusia adalah sebuah lubang di sebuah jalan raya ketika aku turun dan datang dari langit. Sungguh dahsyat pendaratanku di Bumi ini. Terima kasih oh Tuhan, Engkau telah mengabulkan doaku.

“Aku di mana?” sebuah pertanyaan kulontarkan sekali lagi untuk mempertegas jawaban tentang tempat yang manusia itu beri tahukan padaku.
“Taman Pelangi mas”.

Ya, aku ingat tujuanku. Wanita itu. Wanita yang kelak jika aku menjadi manusia aku akan datang padanya. Mengatakan bahwa aku jatuh hati padanya. Ya akan aku katakan. Ya aku harus pergi. Pergi mencarinya. Aku tahu dia ada di sini. Di taman ini. Taman Pelangi.
“Mas mau kemana? Sebentar lagi ambulan datang!” manusia itu berteriak melihatku berlari menjauh.

Dimana dia? Dimana? Aku harus menemuinya sebelum malam habis. Jika malam habis mungkin aku akan kembali terlelap ketika cahaya mentari tak lagi menyinari wajahku. Tapi aku telah menjadi manusia, aku tidak memerlukan lagi cahaya mentari untuk menyinari wajahku agar aku tetap terjaga ketika malam datang dan aku tidak akan terlelap seperti ketika aku pada wujudku dahulu. Tetap! Ya tetap aku harus mencarinya biar waktuku panjang sekalipun, pada detik ini juga aku harus menemuinya. Aku akan menemuinya.

Terus aku berlari mengitari seluruh taman untuk mencarinya, menemukkan tempat ia biasa duduk menatapku penuh kecantikan. Yang aku ingat tempat itu dipenuhi pepohonan dan sebuah kursi yang di atasnya tidak tertutup oleh dedaunan pepohonan, sehingga dengan leluasa setiap mata yang menengadah ke langit dapat melihat hamparan jembatan bintang yang menjadi jalan tatapan antara mataku dan matanya.

Sampailah aku pada tempat itu, tempat miliknya ketika dia menatapku. Dia sedang duduk sendirian termangu menatap langit, wajahnya kosong seakan-akan mencari sesuatu. Aku tahu yang dia cari. Aku. Bulan biru yang selalu dia tatap kini telah menghilang dari langit. Lenyap seakan tertelan pusaran kabut hebat, yang begitu hebatnya hingga membuat sebuah benda langit sebesar itu dapat menghilang dengan sesaat. Akan kuceritakan bahwa Tuhanlah yang melakukannya.

Kudekati dia dengan perlahan. Segala keinginanku kurasakan semakin lama semakin seakan tertelan oleh sebuah topan ketakutan yang begitu hebat. Aku telah memutuskan. Inilah kesempatanku untuk bertemu dia untuk menjamah wajahnya yang indah dari dekat, matanya yang jelita. Aku harus memberanikan diriku.
Sebelum langkahku semakin mendekati dan tanganku menyentuh bahunya untuk sekedar menarik perhatiannya padaku, yang saat ini hanya seorang manusia yang berbalut sebuah kain untuk menutupi tubuhku, dia telah memberikan tatapannya padaku. Sebuah ketakutan menggerayangi seluruh tubuh manusiaku. Beku seluruh jemariku mengkisut kerdil tak berdaya.

“Siapa kau?” tangan wanita itu bergerak-gerak.
“Aa…. aku bulan biru”.
“Bulan biru?” dia menunjuk ke langit, menunjuk bulan yang telah lenyap tidak lagi mengisi hamparan permadani langit.
“Ya aku bulan biru. Siapakah namamu?”.
“Aku rembulan”.
“Namamu dan namaku sama. Apakah karena itu kau selalu menatapku?”.
“Menatapmu?”.
“Ma… maksudku menatap bulan”.

Dia kembali menatapkan matanya pada langit yang hanya dihiasi jembatan gemintang berkelip. “Sayang, sepertinya bulan itu telah pergi”. Sebuah perkataan yang seakan menusuk mata hingga seluruh organ tubuhku yang vital. “Kemanakah dia pergi?”.

“Aku tidak tahu”.
“Duduklah di sampingku, jangan kau terus berdiri di sana”.
“Baiklah” kududukan tubuhku pada kursi pada taman itu. Sebuah keheningan kurasakan merayapi suasana taman tempat aku dan dia duduk. Matanya masih sama, kosong menatap langit.

“Kenapa kau menyukai menatap bulan, rembulan?” ucapku untuk sesegera mungkin memecah segala keheningan yang membaur dalam udara malam.

“Aku menatapnya karena aku telah jatuh cinta pada dia. Dia begitu indah dan sabar. Indah karena dia tidak pernah menunjukkan cahayanya akan padam sama sekali dan sabar karena dia mau menunjukkan wajahnya ketika aku tatap”.

"Kenapa bulan ? tidak adakah manusia yang bersedia kau cintai dan kau tatap".
"Aku telahir dengan kekurangan. Manusia lainnya hanya bersedia untuk memberikkan kasihannya untukku tanpa ada yang lainnya. Berbeda dengan bulan, dia menerima aku dengan apa adanya tanpa bertanya siapa aku dan kenapa aku” matanya terlihat indah berkaca-kaca, damai dalam sedih. Tegar.
Perasaan aneh seakan berkecemuk dalam diriku, berbenturan kian hebat ke sana kemari tanpa kutahu apa sebabnya dan tanpa aku tahu perasaan ini bernama apa. Aku adalah bulan bukan seorang manusia yang terlahir dengan keadaan telah memiliki tubuh manusia. Barulah pertama kali aku memliki tubuh ini. Wajarlah jika aku tidak mengerti tentang tubuh ini.

"Sebenarnya siapakah dirimu? Kenapa pakaianmu begitu aneh?" tanyanya padaku.
"Aa… aku adalah bulan biru".
"Ya, itu telah aku ketahui. Itu adalah namamu. Maukah kau bercerita tentang dirimu padaku?"


Dari kejauhan gonggongan anjing seakan memburu bersama bunyi langkah beberapa orang. Terdengar pula beberapa orang itu berteriak menunjuk sebuah tempat yang aku yakin tempat inilah yang mereka cari dan aku yakin pula bahwa akulah yang mereka cari. Penyebabnya mungkin kerana perubahan dan penurunanku dari langit ke bumi yang membuat para manusia itu seakan merasa aneh padaku dan ingin mencari tahu siapa sebenarnya aku ini.

"Aku. Aku bukankalah siapa-siapa” sebuah jawaban yang terlalu sembrono untuk kukeluarkan dari mulut ini.
"Maksudmu?".

Gonggongan dan derap langkah kaki terdengar semakin mendekat. Aku semakin terburu waktu. Aku yakin keberadaanku di hadapannya tidaklah membantunya keluar dari permasalahan dalam hatinya. Aku kini tahu peranku sebagai apa, tak ada gunanya aku berperan sebagai peran yang lain.

“Maukah kau menceritakan tentang dirimu?".

Tak ada jawab dalam diriku. Kubelai pipinya dengan tanganku, menarik garis dari pipi ke lehernya. Tanganku kini menggenggam lehernya untuk beberapa detik lamanya. Sembari berdiri aku berkata “Kau telah tahu tentang cerita diriku”. Aku berjalan menuju balik pepohonan.

“Kau ingin kemana?” terdengar sebuah suara keluar bibirnya, indah terjamah telingaku. Kulihat sebelum aku menghilang, dia diam dan terpana. Gonggongan anjing dan derap langkah kaki kini telah sampai pada tempat wanita itu terduduk kaget.

“Permisi, apakah nona melihat seorang pria berbadan tegap bermata biru yang tubuhnya hanya diselimuti oleh kain handuk melintas?” Tanya manusia berseragam coklat yang tangannya menggenggam sebuah tali yang terikat pada leher seekor anjing yang tak kian henti terus mengendus jejak bau ku.

“Aku tidak melihatnya” Rembulan masih tetunduk kaget.
“Terima kasih nona” jawab manusia berseragam coklat itu dan dia pun pergi bersama orang-orangnya dan anjing yang ia bawa.
Rembulan melihat ke langit dan melihat bulan telah bersinar kembali pada tempatnya, di jagat semesta raya bersama para benda langit lainnya. “Engkau memang BULAN BIRU. Terima kasih”.

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : intan-umbari-prihati

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya