1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. SEHAT

Self-Injury: Penjelasan Ilmiah dan Manajemen Emosi dalam Islam

Penulis : Alamanda Nuaris Puri

23 Juni 2021 11:54

Self-injury atau melukai diri dengan sengaja dilakukan untuk melampiaskan emosi negatif yang sudah menumpuk. Perilaku ini dapat berupa mengupas kulit di sekitar kuku, menampar diri sendiri, menghantamkan kepala ke dinding, mencekik leher, mencakar, menyayat tubuh (biasanya di tangan dan kaki), menenggak racun dan bahkan menyengaja sebuah kecelakaan. Self-injury biasanya dilakukan karena mereka sudah tidak dapat menemukan cara lain yang mampu meredakan gejolak emosi negatif. Mereka sudah mencoba berbagai cara positif, tapi ternyata ingatan masa lalu dan perasaan tidak nyaman terus saja menghantui. Oleh karena itu, beberapa orang akhirnya memutuskan untuk melukai diri karena dapat memberikan ketenangan walau hanya sementara. Hal tersebut dilakukan bukan semata-mata untuk mencari perhatian dari orang lain. Orang yang melakukan self-injury akan menyembunyikan lukanya. Pelaku self-injury juga tidak akan mengakui jika lukanya diketahui, biasanya mereka akan mengatakan bahwa itu akibat kecelakaan.

Apa yang menyebabkan seseorang melakukan ini? Penyebabnya bisa berupa trauma yang tak kunjung membaik, seperti pernah dilecehkan, diperkosa, korban kekerasan, korban bully, dsb; lingkungan yang menuntut dan menekan, seperti orang tua otoriter, keluarga suka membandingkan, teman toxic, dsb; bentuk kebencian terhadap diri sendiri; dan adanya gangguan mental. Perilaku ini termasuk gejala dari depresi, gangguan kecemasan, gangguan makan, dan gangguan kepribadian ambang. Akan tetapi, tidak semua pelaku self-injury memiliki kriteria yang mengindikasikan gangguan mental.

Melukai diri sendiri sudah banyak dibahas di berbagai portal media sosial. Akan tetapi, tidak sedikit yang masih kesulitan memahami perilaku ini. "Mengapa ya, harus dengan melukai diri sendiri?", "Apa tidak sakit?", "Kenapa melukai diri sendiri itu menyebabkan kecanduan?" Di bawah ini, akan saya jelaskan alasan imiah dari beberapa penelitian.


  1. Penurunan Konektivitas antara Sistem Limbik dan Korteks Orbitofrontal

    Sistem limbik adalah kumpulan dari beberapa beberapa bagian otak yang memiliki fungsi sebagai pengelolaan emosi, motivasi, rangsangan, memori, perilaku, dan penciuman. Sementara itu, korteks orbitofrontal (OFC) bertugas untuk mengatur perilaku yang berkaitan dengan lingkup sosial, membuat keputusan, proses belajar dari hukuman dan hadiah, motivasi, dan mengevaluasi pengalaman. OFC akan aktif ketika seseorang mendapatkan hadiah sehingga menghasilkan pengalaman terkait pemenuhan kebahagiaan (hedonis) di dalam sistem limbik. Kemudian korteks frontal akan mengevaluasi dengan membentuk penilaian dari pengalaman tersebut. Misal, ketika melakukan sesuatu yang terasa baik baginya atau jika memilih berhenti akan memberikan dampak tidak menyenangkan/konsekuensi. Sebagai contoh nyata dari pelaku self-injury berkata, “Saya melukai diri sendiri untuk melegakan perasaan saya, karena jika tidak melakukan itu dada atau perut saya akan kesakitan.”

    Kurangnya konektivitas antara sistem limbik dan OFC menyebabkan otak kesulitan membentuk pengalaman hedonis agar dapat melalui proses evaluasi. Data ini berdasarkan penelitian aspek psikologis dari perilaku self-injury yang berkaitan dengan pemrosesan penghargaan (Vega et al., 2017 dalam Pambianchi & Whitlock, 2019).


  2. Peningkatan Aktivitas pada Hipokampus

    Hipokampus adalah bagian otak yang berfungsi untuk mengelola perhatian (atensi), proses belajar, mencatat informasi, penyimpanan awal memori jangka panjang, dan memori yang baru dipelajari agar dapat dipanggil atau diingat kembali. Menurut studi pencitraan, orang yang berpengalaman self-injury ternyata mengalami peningkatan aktivitas pada hipokampusnya. Hal ini menyebabkan pengambilan otomatis memori yang mengandung ingatan emosional, sehingga pemrosesan memori masa kini menjadi sulit dan pikiran terus dibanjiri ingatan masa lalu. Perasaan tertekan yang berlebihan itu memungkinkan seseorang melukai dirinya.


  3. Aktivitas Amigdala Tinggi

    Amigdala bertugas menyampaikan pesan dari hipokampus ke hipotalamus (bagian otak yang bertugas menghasilkan hormon dan menjaga agar sistem tubuh berjalan seimbang). Amigdala juga memiliki fungsi untuk mendeteksi rasa tidak aman, takut, emosi negatif, respon fisiologis, dan perilaku terhadap rasa sakit. Berdasarkan penelitian yang membandingkan akitivitas otak saat menanggapi stimulus emosional dari pengalaman orang dengan dan tanpa pengalaman self-injury mengungkapkan bahwa, amigdala dari pelaku self-injury memiliki aktivitas lebih tinggi (Plener et al., 2012 dalam Pambianchi & Whitlock 2019). Amigdala yang terlalu aktif menyebabkan semakin banyaknya lampiran informasi respon emosional, sehingga perasaan tertekan menjadi berlebihan. Keadaan ini menjadikan seseorang bersikap emosional dan mudah sedih, karena amigdala yang selalu aktif bahkan ketika ia sedang beristirahat. Normalnya, amigdala akan lebih aktif jika ada rangsangan (ditunjukkan foto, pengalaman, atau sesuatu yang menyedihkan) dan akan berkurang keaktifannya ketika sedang beristirahat. Oleh karena itu, aktivitas yang tinggi pada bagian otak ini dapat menyebabkan seseorang melukai dirinya.

Perlu kita tahu bahwa, meskipun keadaan otak di atas adalah nyata, namun pelaku self-injury dapat disembuhkan dengan berbagai cara yang tepat. Otak memiliki sifat plastisitas atau kemampuan untuk berubah karena belajar dan terus berproses.

Manajemen Emosi dalam Islam

Berkaitan dengan pengelolaan emosi, Islam sudah sangat sering mengulas hal itu. Islam dengan jelas mengatakan kepada umatnya untuk dapat bersabar dan menerima ketika menghadapi cobaan, karena sejatinya tiada satu pun makhluk hidup yang tidak memiliki masalah. Tapi perlu kita ingat, setiap masalah pasti ada solusinya. Seperti firman Allah sebagai berikut.

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ (٥) اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ (٦)

Artinya: “Maka sesungguhnya di samping kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya di samping kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al Insyiroh/94: 5-6).

Allah memberikan ujian kepada setiap makhluk sudah sesuai dengan takarannya, tidak lebih dari kemampuan kita. Allah mengetahui batasan-batasan yang dimiliki setiap makhluk-Nya. Hal ini telah disebutkan dalam potongan ayat berikut.

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ .... (٢٨٦)

Artinya: “Allah tidak akan membebani hamba-Nya melainkan diluar kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya….” (QS. Al Baqarah/2: 286).


Di bawah ini merupakan cara yang baik untuk meregulasi emosi menurut pandangan Islam.

  1. Berprasangka Baik (Husnuzhan)

    Berprasangka ternyata memiliki manfaat yang besar untuk meregulasi emosi. Perilaku ini dapat menumbuhkan optimisme dan perasaan positif karena akan membuat kita melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas. Ketika kita berpikir positif dan berprasangka baik, maka menyelesaikan masalah akan lebih mudah karena kondisi kepala dalam keadaan dingin. Terus-menerus berpikir negatif membuat kita hanya melihat dari kemungkinan terburuk dan menyebabkan overthinking, kemudian ini bisa menimbulkan rasa cemas dan meningkatkan stres.


  2. Meningkatkan Tawakal

    Tawakal adalah bersandar atau berserah diri kepada Allah. Ketika kita sudah berusaha dengan mantap dan menyertai itu dengan doa, maka setelahnya kita harus bertawakal kepada Allah. Apapun hasil yang nantinya akan datang, yakinlah bahwa keputusan itu yang terbaik. Hanya Allah yang mengetahui segala sesuatu yang baik dan buruk. Dengan bertawakal, hati kita terasa tenang, tidak mudah berputus asa, dan mudah bangkit saat jatuh. Memiliki keyakinan ini akan membuat hati kita lebih lapang dada dan bisa menerima segala sesuatu dengan ikhlas. Mengapa demikian? Karena kita percaya bahwa Allah selalu bersama kita dan menepati setiap janjinya. Allah Maha Mendengar dan merupakan penolong yang paling hebat. Mungkin kali ini harapan kita akan sesuatu belum dikabulkan, namun suatu saat Allah pasti memberikan kenikmatan yang luar biasa.


  3. Bersabar

    Bersabar berarti mampu mengendalikan diri, mengontrol emosi, menerima kenyataan pahit, memaafkan, dan keyakinan bahwa segala sesuatu pasti akan indah pada waktunya. Ketika kita mendapatkan masalah dan mencoba bersabar, itu berarti kita mampu menerima dengan lapang dada kondisi buruk tersebut dan memiliki keyakinan besar bahwa semua akan segera membaik, serta ini berarti kita mampu mengalihkan emosi dan prasangka negatif dengan keyakinan tersebut. Selain memiliki keyakinan yang baik, sikap bersabar juga menggambarkan bagaimana seseorang mau berjuang dengan gigih untuk menyelesaikan sesuatu dengan ikhlas. Orang yang sabar tidak mudah tersulut emosi negatifnya dan bisa berpikir dengan kepala jernih.

  4. Memaafkan (Al Afuww)

    Selayaknya Allah yang mampu memaafkan dan menerima tobat hamba-Nya, kita juga perlu memaafkan kesalahan orang lain maupun diri sendiri. Jika kita bisa memaafkan diri dan orang lain, maka yang membebani hati akan lepas dan kita dapat merasa bebas. Perlu kita ingat bahwa memaafkan masa lalu yang buruk bukanlah melupakan, melainkan merelakannya dan berusaha memperbaiki di masa kini dan depan. Masa lalu adalah bagian dari kita yang tidak akan pernah lepas karena itu yang membentuk pribadi kita saat ini. Setiap permasalahan yang kita miliki pasti memiliki nilai hikmahnya.


  5. Dzikrulloh

    Rajin berdzikir memberikan dampak yang baik untuk hati dan jiwa kita, seperti ketentraman, rasa aman, terhindar dari kegelisahan dan kegundahan, menghadirkan kebahagiaan, dan lain sebagainya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Washington (tertera dalam majalah Scientific American edisi Desember 1993), menyatakan bahwa ketika seseorang berdzikir, maka syaraf-syaraf pada otaknya menjadi aktif.

  6. Wudhu

    Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pembuluh darah akan menyempit jika kita sedang marah dan air adalah salah satu yang baik untuk mengembalikan kondisi tersebut karena akan menjadi relaks (Syarif Hidayatullah 2014 dalam Lela & Lukman, 2015). Selain itu, wudhu juga mampu meningkatkan konsentrasi dan memberikan ketenangan jiwa. Hal ini karena air bersifat menyejukkan, sehingga akan memberikan ketenangan saat kita mengusap kepala yang merupakan bagian dari wudhu (Lela & Lukman, 2015). Profesor Leopold Werner von Ehrenfels, psikiater dari Austria membuktikan secara ilmiah manfaat wudhu untuk kesehatan karena bagian tubuh yang terkena air wudhu adalah titik syaraf pusat. Dia menyatakan bahwa jika bagian tubuh tersebut dibasuh dengan wudhu, maka keselarasan dan kesehatannya akan terjaga.


Sesungguhnya Islam melarang kita untuk menyiksa diri sendiri. Hal itu bukan saja karena merupakan pengingkaran kepada Allah, namun memberikan banyak mudhorot atau keburukan. Selain itu, self-injury juga bukan merupakan penanganan untuk permasalahan hidup. Ketika Allah memerintah dan melarang sesuatu, pasti ada penyebab yang baik untuk diri kita karena Allah sangat mencintai makhluk-Nya.

Setelah mengetahui dan memahami artikel ini, saya harap kita dapat memahami kondisi pelaku self-injury. Meski tindakan ini rasanya ulit diterima oleh akal dan dilarang dalam agama, namun jangan malah menjauhi mereka. Pelaku self-injury sangat membutuhkan rangkulan dan kehangatan orang sekitar, terutama yang paling dekat dengannya. Jangan pula menghakimi dan memojokkan mereka. Sebaiknya, jadilah pendengar yang baik untuk mereka terlebih dahulu, kemudian baru kita coba menasihati dengan lembut dan ketulusan.

Penulis:
Alamanda Nuaris Puri
Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang


Referensi

Fatwa, A. A. (2011). Tawakkal Kunci Kemudahan dalam Segala Urusan. In T. R. Furqon", Al Furqon: Yakinlah Qishas Membawa Keamanan (pp. 52-56). Gresik: Lajnah Dakwah Ma'had Al Furqon Al Islami.

Huang, X. Rootes-Murdy, K., Bastidas, D.M. et al. (2020). Brain Differences Associated with Self-Injurious Thoughts and Behaviors: A Meta-Analysis of Neuroimaging Studies. Scientific Reports.

Kurniawaty, R. (2012). DINAMIKA PSIKOLOGIS PELAKU SELF-INJURY (STUDI KASUS PADA WANITA DEWASA AWAL). Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi.

Lela & Lukmawati (2015). “KETENANGAN” : MAKNA DAWAMUL WUDHU(Studi Fenomenologi Pada Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang). Jurnal Psikologi Islam.

Pambianchi, H. & Whitlock, J. (2019). Understanding The Neurobiology of Non-Suicidal Self-Injury, Cornell Research Program on SelfInjury and Recovery. Ithaca, New York: Cornell Research Program on SelfInjury and Recovery.

Sofiyan, A. (2017). MANAJEMEN EMOSI DALAM AL-QUR'AN (KAJIAN SURAT YŪSUF). Skripsi, 61-67.

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : alamanda15

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya