1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. SEJARAH

Ayah Minta Pasangan Sedarah Ditenggelamkan, Hukuman Mengerikan Bagi Pelanggar Kesusilaan

Penulis : Moana

5 Juli 2019 14:36

Pernikahan sedarah di Bulukumba membuat keluarga malu

Planet Merdeka - Belakangan, publik dikejutkan dengan kabar pernikahan sedarah yang terjadi antara kakak beradik kandung di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Hal ini terbongkar setelah istri sah dari si pria membuat laporan mengenai pernikahan sedarah ini.

Dan hal ini pun didengar oleh ayah kandung dari pasangan tersebut. Meski dirinya dan keluarga mengaku sebelumnya tidak mengetahui kabar itu. Mustamin, ayah dari Ansar (32) dan FI (20), mengaku bahwa dirinya merasa sangat malu atas pernikahan kedua anak kandungnya tersebut.

2 dari 7 halaman

Ayah kandung minta para pelaku ditenggelamkan

Bahkan, Mustamin sampai berharap agar kedua buah hatinya itu dijatuhi hukuman setimpal karena tindakan yang dilakukan keduanya yang dianggapnya tak pantas dan tengah mempermalukan keluarga. Termasuk hukuman adat berupa ri-labu, yaitu ditenggelamkan di laut dengan cara dimasukkan ke karung. Mustamin pun mengaku bahwa dirinya tak mau lagi melihat anak-anaknya itu.

"Saya tidak mau lagi melihat kedua anak itu. Jika hukum adat bisa dilakukan, kedua anak ini akan di-labu (ditenggelamkan di laut dengan cara dimasukkan ke karung)," ujar Mustamin.
3 dari 7 halaman

Ri labu merupakan salah satu hukuman adat terberat

Ri labu sendiri ternyata merupakan salah satu hukuman terberat yang dijatuhkan bagi pelanggar norma kesusilaan atau malaweng di tanah Bugis. Namun, meski demikian ternyata ada hukuman mati lain yang tak kalah mengerikan dari hukuman tersebut.

Dalam penelitian hukum tentang Perkembangan Hukum Adat di Provinsi Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Ahmad Ubbe, dikatakan bahwa kebudayaan bugis mengatur tentang pergaulan antara wanita dan laki-laki.

4 dari 7 halaman

Tingkatan malaweng

Pergaulan yang dianggap tercela atau melewati batas antara para wanita dengan laki-laki, menurut penelitian yang dilakukan oleh dari Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2005 tersebut, dikenal dengan sebutan malaweng (pelanggaran). Malaweng sendiri ternyata memiliki beberapa tingkatan yakni.

(1) Malaweng pakkita (gerak-gerik mata yang terlarang atau sumbang mata);

(2) Malaweng kedo (perbuatan, atau gerak-gerik dan tingkah-laku yang terlarang, tingkah laku sumbang);

(3) Malaweng luse (perbuatan meniduri atau seketiduran dengan orang yang terlarang atau, sumbang seketiduran)."

5 dari 7 halaman

Untuk dua malaweng tak diberikan hukuman berat

Untuk seseorang yang melakukan malaweng pakkita dan malaweng kedo ternyata memang dianggap melakukan perbuatan yang tercela. Namun, ternyata mereka tak perlu dijatuhi hukuman pidana.

Tetapi untuk malaweng lusa, jika mereka melakukan perbuatan tercela maka hal itu dianggap seperti perbuatan binatang (gau olokolok). Pasalnya, perbuatan itu dianggap akan mengakibatkan timbulnya pelanggaran siri’ dan mengakibatkan kesukaran berat bagi orang tua dan sanak keluarga (terutama dari pihak perempuan).

6 dari 7 halaman

Ditenggelamkan ke laut atau dibuang dari tebing

Untuk pelanggar malaweng ini dianggap sebagai pelanggaran berat dan hina. Jika seseorang melakukan pelanggaran ini, maka mereka akan diberikan hukuman mati dengan cara yang mengerikan, ada yang ditenggelamkan ke laut (ri labu) ada pula yang dibuang ke tebing.

Perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai malaweng itu diantaranya adalah pacaran, bercumbu rayu, perbuatan cabul yang disetujui bersama atau dengan kekerasan, perzinaan menurut hukum Islam, membuat perempuan hamil di luar perkawinan, perkosaan dan hidup bersama, sebagai suami isteri di luar nikah.

Namun, ternyata ada alasan yang kuat mengapa masyarakat bugis menentang perbuatan malaweng tersebut. Pasalnya hal itu dianggap akan menjadi sumber malapetakan bagi masyarakat. Oleh karena itu, tubuh dan darah pelaku malaweng dianggap pantang untuk mengenai tanah Bugis.
7 dari 7 halaman

Menjauhkan dari malapetaka

Di sisi lain, melemparkan para pelanggar ke laut dipercaya adalah merupakan cara terbaik untuk memenuhi pantangan tersebut. Sementara itu, malapetaka yang dimaksud disini adalah seperti yang dikutip dari kanon I La Galigo, antara lain “dikutuk oleh bawa langit dan seluruh isi bumi, meratalah gunung-gunung, rebah-runtuh kayu besar, mengering-gersang samudra, menjadi abu sagu, menjelma rumput-rumputan Sang Hiang Sri (Dewi Padi)18, dan punahlah orang-orang di bumi”.

Perbuatan tercela para pelaku tersebut ternyata juga dianggap bisa menyebabkan sungai mengering. Hal itu dikaitkan dengan lemahnya mata air, tanam-tanaman tidak berbuah, munculnya saling sengketa di masyarakat, hingga segala sumber makan pokok tidak ada. Dan dengan menenggelamkan pelaku ke dasar laut hal itu diharapkan bisa membawa keseimbangan kembali di masyarakat setempat.
  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : moana

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya