1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. SEJARAH

Trimurti Mengungkap Kekejaman Penjara Wanita Zaman Belanda, Tahanan Disiksa Sampai Gangguan Jiwa

Penulis : Yuli Astutik

16 September 2021 17:57

Gara-Gara Pamflet “Gelap”, S.K Trimurti Dipenjara

Penjara perempuan tersebut berada di Desa Bulu Semarang, Jawa Tengah.  Penjara ini memang populer sebagai tempat pembuangan para perempuan yang membangkang.

Tak jarang kriminal yang menjadikan seseorang terbunuh, terluka, dan lain sebagainya pun mendekam di penjara ini. Sedangkan menurut beberapa catatan sejarah dari kehidupan di penjara wanita Bulu, Semarang, mengungkapkan bahwa tempat ini penuh dengan misteri yang mengerikan.

Waktu peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1930, kala itu wartawati pertama di Indonesia tersebut bergelut dalam organisasi yang cenderung radikal pada masanya.

Selain berjuang di bawah payung Palang Merah Indonesia (PMI), Trimurti juga bergabung dengan organisasi anti kolonialisme yang belum ada namanya.

Hal tersebut disebabkan Trimurti bekerja sebagai spionase organisasi ini. 

Hingga jika Ia menyebutkan nama organisasi secara terbuka maka aparatur kolonial akan mudah melacak dan menangkapnya.

Keikutsertaannya membuat pamflet-pamflet “gelap” menjadi salah satu penyebab polisi Belanda mencari S.K Trimurti. 

Belanda lalu menjebloskan Trimurti ke penjara wanita di daerah Bulu, Semarang, Jawa Tengah.

Trimurti membuat karikatur pamflet yang membuat pemerintah kolonial agar sadar bahwa mereka hidup di tanah pribumi cuma sebagai penumpang.

Hal ini mengundang kemarahan pemerintah kolonial, bahkan sebagian pejabat kolonial merasa tersinggung dan ingin lekas menangkap Trimurti.

Akhirnya kala perempuan pemberani ini sudah tercium lokasi tempat tinggalnya, polisi KNIL pun menangkap dan membawanya ke penjara.

Selama di penjara itulah selanjutnya Trimurti mengetahui banyak persoalan yang lebih kejam daripada sebelumnya.

2 dari 4 halaman

Karena Berstatus Sebagai Tahanan Politik, Ruangan S.K Trimurti Dibedakan

Ipong Jazimah dalam bukunya berjudul “S. K. Trimurti Pejuang Perempuan Indonesia”, (2016: 49) menjelaskan bahwa ruangan penjara Trimurti berbeda dengan tahanan lainnya.

Perbedaan ruangan ini juga untuk orang-orang yang berstatus tahanan politik (tapol). Dikutip dari penjelasan Ipong, tahanan politik mempunyai ruangan yang sedikit lebih layak.

Berbeda dengan tahanan perempuan lainnya yang bukan berstatus tapol.

Berdasarkan tulisan sejarah kehidupan penjara wanita zaman Belanda, lazimnya mereka mempunyai ruangan yang sempit dan kotor.

Walaupun wartawan perempuan pertama di Indonesia itu berada ruangan yang layak, tapi bukan berarti Trimurti bisa berperilaku seenaknya.

Justru karena berada di ruangan yang istimewa itu bertujuan untuk mengawasi lebih banyak pergerakan Trimurti dari jarak dekat

Kondisi ini menjadikan Trimurti depresi dan sempat murung karena tekanan yang terasa berat.

Sebab selain tak ada hiburan, ia pun tak dapat menulis seperti kebiasaan sehari-harinya.

3 dari 4 halaman

Dari Penjara Wanita, S.K Trimurti Menerjemahkan Keadilan

Berdasarkan tulisan peninggalan S.K Trimurti, Ipong Jazimah menyebut dari penjara di Desa Bulu Semarang itu, Trimurti mengawali belajar dan memahami terjemahan dari kata “Keadilan”.

Karena dalam penjara wanita itu, ia dapat menyaksikan bagaimana perlakuan Belanda terhadap pribumi non tahanan politik yang tak manusiawi dan amat menyalahi hak asasi.

Contoh kecil saja yang ia sebutkan ialah saat pemilihan ruangan bui. Para perempuan non-tapol berada dalam ruangan sempit beralaskan tikar.

Sedangkan tahanan tapol dan tahanan yang berasal dari kalangan Eropa memiliki hak istimewa untuk tinggal di ruangan penjara yang lebih layak.

Dari sinilah akhirnya Trimurti mengerti arti dari kata keadilan. Hingga jatuh pada kesimpulan selama Belanda masih bercokol di tanah air, maka keadilan tak akan pernah ada.

Trimurti menilai bahwa apa yang ia alami di penjara wanita zaman Belanda sebagai peristiwa yang paling menghantui kehidupannya.

Sampai ia bertekad cepat untuk berjuang melepaskan diri dari penjajahan Belanda.

Pola Perjuangannya Lebih Menyukai Sikap Non-Kooperatif

Bila Soekarno dan Hatta menyebut pola perjuangannya dengan istilah kooperatif (kerjasama) dengan pemerintah kolonial, maka berlainan halnya dengan perempuan yang satu ini.

Trimurti secara blak-blakan mengakui pada pemerintah kolonial, ia lebih menyukai sikap non-kooperatif dalam gerak perjuangannya untuk membela bangsa.

Ternyata Trimurti merasakan sakit hati yang mendalam semasa ia ada di dalam lapas perempuan Semarang.

Terutama saat ia menyaksikan bagaimana pribumi perempuan yang sedang mengalami masa hukuman di lapas.

Perlakuan Belanda pada pribumi perempuan tersebut amat biadab sampai kerap menimbulkan fenomena gangguan jiwa.

4 dari 4 halaman

Seorang Perempuan Belanda Ingin Menolong Trimurti

Fakta unik yang jarang tersibak ketika seorang perempuan Belanda berusaha menolong S.K Trimurti supaya lolos dari tahanan.

Perempuan Belanda tersebut adalah petugas administrator di lapas, namun Trimurti menolaknya mentah-mentah.

Trimurti merasa bahwa itu adalah hinaan yang amat memalukan.

Sebab wanita Belanda itu akan menolong jika ia bersedia menjadi warga negara Belanda.

Pastinya Trimurti menilainya sebagai penghinaan.

Bayangkan saja, sudah lama berjuang sampai masuk penjara karena mempertahankan kebangsaan, tapi malah ditawari jadi orang Belanda.

Menurut Trimurti hal tersebut tak cuma menghina perjuangannya yang sudah ia lalui sejak jauh-jauh hari, namun pun merendahkan harga diri yang tak bisa ditawar lagi.

Itulah sekelumit tulisan sejarah dari kehidupan penjara wanita zaman Belanda, khususnya yang terjadi pada tokoh wartawan pertama di Indonesia bernama S.K Trimurti.

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : yuli-astutik

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya