Fakta Mengejutkan! Laksamana Purnawirawan Leonardi Bantah Terlibat dalam Kasus Korupsi Kemhan Navayo
Tersangka Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi secara tegas membantah keterlibatannya dalam Kasus Korupsi Kemhan Navayo. Simak bantahan lengkapnya dan fakta mengejutkan di balik kasus ini!
Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek user terminal Kementerian Pertahanan (Kemhan), secara tegas membantah keterlibatannya dalam penunjukan Navayo International AG. Bantahan ini disampaikan melalui kuasa hukumnya, Rinto Maha, di Jakarta pada Jumat (25/7).
Menurut Rinto Maha, kliennya yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan, hanya bertugas sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ia menegaskan bahwa seluruh kewenangan terkait perencanaan, persetujuan alokasi anggaran, dan pengesahan kontrak berada di tangan Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Leonardi bahkan mengklaim telah menerapkan prinsip kehati-hatian dengan meminta Navayo menghentikan pengiriman pada awal 2017 karena struktur pelaksanaan yang belum lengkap. Ia juga menginisiasi adendum kontrak sebagai langkah administratif korektif, menunjukkan upayanya untuk memastikan prosedur yang benar.
Peran dan Batasan Kewenangan Leonardi
Rinto Maha menjelaskan bahwa penunjukan Navayo sebagai pemenang pengadaan telah menjadi wewenang Pengguna Anggaran. Keputusan ini bahkan telah disampaikan dalam rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo pada akhir tahun 2015. Dengan demikian, Leonardi tidak memiliki otoritas untuk menentukan pemenang proyek tersebut.
Kuasa hukum juga membantah tudingan bahwa Leonardi menandatangani kontrak kerja sama dengan Navayo tanpa adanya anggaran Kemhan. Ia menegaskan bahwa penandatanganan kontrak baru dilakukan setelah Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tersedia, yaitu pada Oktober 2016, bukan pada 1 Juli 2016 saat anggaran belum ada.
Hal ini menunjukkan bahwa Leonardi bertindak sesuai prosedur keuangan negara yang berlaku, menunggu ketersediaan anggaran sebelum mengesahkan perjanjian. Klaim ini bertolak belakang dengan narasi yang dibangun oleh Kejaksaan Agung terkait waktu penandatanganan kontrak.
Polemik Kerugian Negara dan Bukti Hukum
Rinto Maha lebih lanjut menilai bahwa tidak ada satu rupiah pun yang telah dibayarkan kepada Navayo, sehingga tidak ada kerugian negara yang aktual terjadi. Ia mengkritik Kejaksaan Agung yang menggunakan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tertanggal 2 Agustus 2012 sebagai dasar penetapan tersangka.
LHP tersebut, menurut Rinto, hanya menyebutkan tagihan senilai sekitar 16 juta dolar AS yang belum dibayarkan oleh Kemhan. Ia menekankan bahwa seluruh klaim kerugian negara dalam LHP tersebut bersifat potensial, bukan kerugian nyata. Padahal, Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 mensyaratkan kerugian negara harus nyata, pasti, dan aktual.
Selain itu, Rinto juga menyoroti masalah Certificate of Performance (CoP) yang menjadi dasar klaim invois Navayo. Ia menyatakan bahwa CoP ditandatangani oleh pihak yang berwenang sesuai Permenhan Nomor 17 Tahun 2014, yaitu Panitia Penerimaan Hasil Pekerjaan yang diangkat oleh Pengguna Anggaran, bukan Leonardi.
Bahkan, Rinto menegaskan bahwa penerimaan barang dari penyedia tidak sepengetahuan kliennya, dan Leonardi tidak menyetujui penerbitan CoP tersebut. Pernyataan ini semakin memperkuat argumen bahwa Leonardi tidak memiliki kendali penuh atas seluruh proses pengadaan dan pembayaran.
Tudingan Kejaksaan Agung dan Respons Leonardi
Kejaksaan Agung (Kejagung) sendiri telah menetapkan Leonardi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan user terminal untuk satelit slot orbit 123 BT pada Mei lalu. Direktur Penindakan Jampidmil Kejagung, Brigjen TNI Andi Suci, menyebut Leonardi menandatangani kontrak dengan CEO Navayo, GK, pada 1 Juli 2016.
Kontrak tersebut awalnya senilai 34.194.300 dolar AS, kemudian berubah menjadi 29.900.000 dolar AS. Poin krusial yang disorot Kejagung adalah penandatanganan kontrak tersebut dilakukan tanpa adanya anggaran Kemhan, yang menjadi dasar tuduhan korupsi.
Namun, Leonardi melalui kuasa hukumnya berulang kali membantah tudingan tersebut. Ia bersikeras bahwa dirinya hanya menjalankan tugas sebagai PPK dan tidak memiliki wewenang untuk menentukan penunjukan Navayo atau mengesahkan kontrak tanpa DIPA yang tersedia. Perbedaan pandangan ini menjadi inti dari kasus hukum yang sedang berjalan.