Sulitnya Penurunan Prevalensi Merokok: Tiga Faktor Utama yang Menghambat
Pakar kesehatan ungkap tiga faktor utama yang menghambat penurunan prevalensi merokok di Indonesia dan dunia: oposisi terhadap pengurangan risiko tembakau, posisi WHO, dan misinformasi produk alternatif.
Jakarta, 15 April 2024 - Prevalensi merokok yang sulit diturunkan di Indonesia dan berbagai negara ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor kunci. Prof. Tikki Pangestu, pakar kesehatan terkemuka, mengidentifikasi tiga faktor utama yang menghambat upaya pengurangan risiko tembakau dan upaya penurunan prevalensi merokok. Faktor-faktor ini saling berkaitan dan membentuk tantangan kompleks dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat global ini.
Salah satu faktor utama adalah penolakan keras dari kelompok pengendalian anti-tembakau terhadap pendekatan pengurangan risiko. Kelompok ini cenderung fokus pada larangan dan pembatasan tanpa mempertimbangkan kesehatan perokok yang ingin beralih ke produk dengan risiko lebih rendah. "Kelompok pengendalian antitembakau yang sangat menentang pendekatan pengurangan risiko tembakau dan cenderung mengedepankan kebijakan yang berfokus pada larangan dan pembatasan, tanpa mempertimbangkan perlindungan kesehatan bagi perokok yang ingin beralih ke produk lebih rendah risiko," ungkap Prof. Tikki dalam keterangan pers di Jakarta.
Lebih lanjut, Prof. Tikki menjelaskan bahwa pendekatan ini mengabaikan aspek penting kesehatan masyarakat, yaitu memberikan pilihan yang lebih aman bagi perokok yang ingin mengurangi atau berhenti merokok. Hal ini menciptakan dilema antara tujuan ideal untuk menciptakan masyarakat bebas nikotin dengan realita kompleksitas masalah kesehatan masyarakat yang membutuhkan solusi pragmatis dan berbasis bukti ilmiah.
Posisi WHO dan Misinformasi: Dua Hambatan Utama
Faktor kedua yang signifikan adalah posisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menolak pendekatan pengurangan risiko tembakau. Negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk Indonesia, cenderung mengikuti pedoman WHO. Akibatnya, negara-negara ini seringkali mengalami kesulitan dalam mengevaluasi manfaat dari produk tembakau alternatif dalam mengurangi risiko kesehatan.
Sikap WHO ini, menurut Prof. Tikki, membatasi penilaian objektif terhadap potensi manfaat produk-produk alternatif. Padahal, banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa produk-produk ini dapat membantu perokok mengurangi paparan zat berbahaya yang terkandung dalam rokok konvensional. Keengganan untuk mempertimbangkan bukti ilmiah ini menghambat perkembangan strategi pengendalian tembakau yang lebih komprehensif dan efektif.
Terakhir, misinformasi mengenai produk tembakau alternatif juga menjadi penghambat utama. Anggapan umum bahwa produk alternatif memiliki risiko kesehatan yang sama dengan rokok merupakan salah satu miskonsepsi yang paling berbahaya. Misinformasi ini menyebabkan pemerintah dan organisasi kesehatan enggan untuk mempertimbangkan potensi manfaat produk alternatif dalam mengurangi prevalensi merokok.
Perlu Pendekatan yang Lebih Seimbang
Prof. Tikki menekankan perlunya pendekatan yang lebih seimbang dan berbasis bukti ilmiah dalam mengatasi masalah merokok. Ia menyayangkan kurangnya pertimbangan terhadap potensi produk tembakau alternatif dalam mengurangi risiko kesehatan dan prevalensi merokok. "Produk tembakau alternatif ini tidak digunakan secara luas untuk mengatasi epidemi merokok yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia. Hal itu benar-benar mempengaruhi saya sebagai seorang ilmuwan. Mengapa para pembuat kebijakan, WHO, mengabaikan begitu saja bukti yang saya yakini sangat kuat bahwa produk ini benar-benar dapat menyelamatkan nyawa," tegas Prof. Tikki.
Kesimpulannya, tantangan dalam menurunkan prevalensi merokok sangat kompleks dan membutuhkan strategi yang holistik. Mengatasi penolakan terhadap pengurangan risiko tembakau, mempertimbangkan kembali posisi WHO, dan mengklarifikasi misinformasi mengenai produk alternatif merupakan langkah-langkah penting untuk mencapai tujuan tersebut. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan berbasis bukti ilmiah, kita dapat berharap untuk melihat penurunan prevalensi merokok yang signifikan.