Transaksi Emas di BSI Tetap 0 Persen Pajak, PPh Pasal 22 Emas Dorong Bisnis Bullion
PT Bank Syariah Indonesia (BSI) optimis PPh Pasal 22 Emas akan memacu pertumbuhan bisnis bullion, dengan transaksi nasabah tetap bebas pajak.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan aturan baru terkait Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk pembelian emas batangan oleh bank bullion, yang mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 2025. Aturan ini, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025 dan PMK Nomor 52 Tahun 2025, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor keuangan nasional, khususnya bisnis emas.
PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) menyambut baik kebijakan ini dan memandang bahwa pemberlakuan PPh Pasal 22 justru akan semakin mendorong pertumbuhan bisnis bullion. Hal ini dikarenakan transaksi pembelian emas oleh nasabah akhir di BSI tidak dikenakan pajak, alias 0 persen, sehingga memberikan keuntungan langsung bagi investor.
Direktur Sales & Distribution BSI, Anton Sukarna, menyatakan optimisme terhadap tren peningkatan bisnis bullion di tahun ini, dengan proyeksi pertumbuhan positif hingga akhir tahun. BSI berkomitmen untuk mendukung percepatan ekonomi nasional melalui optimalisasi monetisasi potensi emas logam mulia di Tanah Air, sejalan dengan statusnya sebagai bank emas.
Dampak PPh Pasal 22 Terhadap Bisnis Emas
BSI melihat PPh Pasal 22 sebagai katalisator pertumbuhan bisnis emas, terutama karena adanya pengecualian pajak bagi konsumen akhir. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan animo masyarakat untuk berinvestasi emas, yang selama ini telah terbukti menjadi instrumen investasi safe haven di tengah kondisi ekonomi yang menantang.
Anton Sukarna menekankan bahwa investasi emas bukan sekadar menabung logam mulia, melainkan bagian dari strategi pengelolaan keuangan sesuai syariah yang lebih luas. BSI terus mendorong investasi emas melalui berbagai produk seperti cicil emas, gadai emas, dan pembelian emas melalui BYOND by BSI.
Pertumbuhan bisnis emas di BSI menunjukkan hasil yang sangat positif. Hingga Juni 2025, saldo BSI Emas dalam gramase tumbuh signifikan sebesar 110 persen year to date (ytd), dengan volume mencapai 1 ton. Peningkatan ini juga tercermin dari jumlah transaksi pembelian melalui BYOND yang melonjak 191 persen secara year to date, menunjukkan tingginya minat masyarakat.
Regulasi Baru PPh Pasal 22 Emas
PMK 51 Tahun 2025 menunjuk lembaga jasa keuangan (LJK) bullion sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian emas batangan. Tarif yang dikenakan adalah 0,25 persen dari nilai pembelian, di luar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, transaksi dengan nilai maksimal Rp10 juta dikecualikan dari pemungutan ini.
Perubahan penting lainnya adalah penghapusan skema Surat Keterangan Bebas (SKB) atas impor emas batangan. Ini berarti pembelian emas melalui impor kini dipungut PPh Pasal 22 dengan skema yang sama seperti pembelian dalam negeri. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa beban lembaga jasa keuangan akan berkurang secara signifikan karena tarif PPh Pasal 22 diturunkan dari semula 1,5 persen menjadi 0,25 persen.
Regulasi ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menciptakan ekosistem investasi emas yang lebih terstruktur dan transparan. Dengan tarif yang lebih rendah bagi LJK bullion, diharapkan biaya operasional dapat ditekan, yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan bagi konsumen dan mendorong volume transaksi.
Pengecualian PPh Pasal 22 dalam Transaksi Emas
PMK 52 Tahun 2025 secara spesifik mengatur pengecualian dalam pungutan PPh Pasal 22 atas transaksi emas. Pungutan ini tidak berlaku untuk penjualan emas perhiasan atau emas batangan kepada beberapa kelompok. Kelompok-kelompok tersebut meliputi konsumen akhir, wajib pajak UMKM dengan PPh final, serta wajib pajak yang memiliki SKB PPh 22.
Selain itu, pengecualian serupa juga berlaku untuk penjualan emas batangan kepada Bank Indonesia, transaksi melalui pasar fisik emas digital, dan penjualan kepada LJK bullion lainnya. Aturan ini memastikan bahwa PPh Pasal 22 tidak membebani konsumen atau transaksi yang bertujuan untuk stabilisasi pasar dan pengelolaan cadangan negara.
Kebijakan pengecualian ini merupakan langkah strategis untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dengan demikian, pemerintah berupaya menciptakan iklim investasi emas yang kondusif, di mana masyarakat dapat berinvestasi tanpa terbebani pajak tambahan pada titik pembelian akhir.