Isu Rokok Ilegal: Benarkah Kenaikan Cukai Penyebabnya?
Maraknya rokok ilegal di Indonesia dikaitkan dengan kenaikan cukai, namun data empiris menunjukkan fakta yang berbeda dan penegakan hukum yang lemah sebagai penyebab utama.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Maraknya peredaran rokok ilegal di Indonesia akhir-akhir ini telah memicu perdebatan publik. Salah satu tokoh yang menyoroti isu ini adalah Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, yang mengaitkan peningkatan rokok ilegal dengan kenaikan cukai rokok. Pernyataan KDM ini kemudian diviralkan, memunculkan pertanyaan mengenai penyebab sebenarnya di balik fenomena tersebut. Artikel ini akan menganalisis berbagai faktor yang berkontribusi terhadap maraknya rokok ilegal, dan mengkaji apakah kenaikan cukai rokok memang menjadi penyebab utamanya.
Pandangan yang menghubungkan maraknya rokok ilegal dengan kenaikan cukai rokok, seperti yang disampaikan KDM, perlu dikaji lebih mendalam. Faktanya, data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa prevalensi rokok ilegal di Indonesia mengalami fluktuasi, naik turun, dan tidak selalu berkorelasi langsung dengan besaran kenaikan cukai. Oleh karena itu, penting untuk memahami faktor-faktor lain yang turut berperan dalam fenomena ini.
Berbagai pihak, termasuk pemerintah, perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah rokok ilegal. Perlu analisis yang komprehensif dan solusi terintegrasi untuk mengatasi masalah ini, bukan hanya berfokus pada satu faktor tunggal seperti kenaikan cukai. Mengabaikan faktor-faktor lain seperti penegakan hukum yang lemah dan kompleksitas sistem cukai, hanya akan menghambat upaya penanggulangan peredaran rokok ilegal secara efektif.
Faktor-faktor Penyebab Kenaikan Persentase Rokok Ilegal
Data menunjukkan bahwa penegakan hukum yang lemah berkontribusi signifikan terhadap peningkatan prevalensi rokok ilegal. Survei CISDI menunjukkan angka prevalensi rokok ilegal mencapai 10,77 persen, angka yang cukup tinggi. Namun, data dari Ditjen Bea Cukai menunjukkan fluktuasi angka tersebut dari tahun ke tahun, membuktikan bahwa penegakan hukum yang efektif dapat menekan angka tersebut.
Pada tahun 2022, dengan 19.399 kali penegakan hukum, prevalensi rokok ilegal hanya 5,5 persen. Hal ini menunjukkan korelasi yang kuat antara penegakan hukum yang kuat dan penurunan angka rokok ilegal. Sebaliknya, pelemahan penegakan hukum diduga kuat menjadi penyebab kenaikan prevalensi rokok ilegal pada tahun ini.
Pemerintah, termasuk pemerintah daerah, seharusnya konsisten dalam penegakan hukum sesuai dengan mandat Permenkeu No. 72/2024 tentang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), yang mengalokasikan 10 persen dana untuk penegakan hukum. Daerah dengan prevalensi rokok ilegal tinggi seharusnya tidak menerima DBH CHT penuh, mengingat dana tersebut seharusnya digunakan untuk memberantas rokok ilegal.
Selain penegakan hukum, sistem cukai Indonesia yang rumit (8-9 layer) juga menjadi faktor penting. Sistem ini sulit diawasi dan justru menguntungkan industri rokok besar, yang dapat menghasilkan rokok murah dan memicu down trading, yang pada akhirnya meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Isu Setingan Industri Rokok dan Opini Publik
Ada dugaan kuat bahwa industri rokok berupaya membentuk opini publik dengan mengaitkan kenaikan cukai dengan maraknya rokok ilegal. Tujuannya adalah untuk mencegah kenaikan cukai atau setidaknya membatasi besaran kenaikannya agar harga rokok tetap terjangkau, khususnya bagi anak-anak dan remaja.
Strategi ini dinilai licik dan melawan regulasi, karena cukai bertujuan untuk pengendalian konsumsi. Kenaikan cukai yang membuat rokok mahal akan mengurangi konsumsi, sesuai dengan tujuan cukai. Semakin tinggi kenaikan cukai, semakin baik untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk rokok.
Studi di Inggris menunjukkan bahwa kenaikan cukai rokok secara konsisten sejak tahun 2000, bahkan di atas laju inflasi, justru menurunkan konsumsi rokok ilegal secara drastis. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan cukai dan pemberantasan rokok ilegal bukanlah isu yang saling bertentangan.
Inggris berhasil menekan rokok ilegal dengan membentuk Tobacco Action Plan, yang meliputi pembentukan lembaga baru, penempatan intelijen di luar negeri, peningkatan sanksi pidana, dan penambahan petugas cukai. Model ini dapat diadopsi Indonesia.
Kesimpulannya, kenaikan cukai dan rokok ilegal adalah dua isu berbeda. Tidak menaikkan cukai hanya karena alasan rokok ilegal justru akan merugikan negara. Indonesia perlu belajar dari keberhasilan Inggris dalam menekan rokok ilegal dengan tetap konsisten menaikkan cukai dan melakukan penegakan hukum yang efektif.
Opini KDM perlu dikaji ulang, dan pemerintah daerah harus lebih serius dalam penegakan hukum, mengingat telah menerima dana dari DBH CHT untuk tujuan tersebut. Penting untuk fokus pada solusi terintegrasi, bukan hanya berfokus pada satu faktor penyebab.
*) Tulus Abadi, Sekjen Komnas Pengendalian Tembakau, Penggagas Forum Konsumen Indonesia (FKI)