Suara Saluang dari Ngarai Sianok: Tradisi yang Menggema di Tengah Modernitas
Di Ngarai Sianok, alunan saluang dari Majuang, seniman keliling asal Sumatera Barat, menjadi bukti nyata pelestarian tradisi Minangkabau yang tetap hidup di tengah perkembangan zaman.

Di kedalaman Ngarai Sianok, Sumatera Barat, di tengah rimbunnya pepohonan yang menghalangi sebagian sinar matahari, terdengar alunan merdu sebuah alat musik tradisional. Suara itu berasal dari saluang, yang dimainkan oleh Majuang, seorang seniman keliling yang telah mendedikasikan hampir empat dekade hidupnya untuk melestarikan alat musik warisan leluhur Minangkabau ini. Ia memainkan saluangnya di salah satu sudut paling tenang di ngarai, dengan menggunakan pengeras suara portabel untuk menjangkau pendengar di zaman modern.
Alunan saluang Majuang, yang mirip seruling namun dengan ketebalan suara yang lebih besar, mampu menembus semak belukar dan gema di tebing-tebing ngarai yang kokoh. Nada-nadanya mengingatkan pada seruling Jepang dalam kisah samurai: lirih, melankolis, namun penuh kebesaran jiwa. Namun, saluang bukanlah alat musik asing; ia adalah milik Minangkabau, dan Majuang menghidupkannya bukan hanya dengan teknik, tetapi juga dengan rasa yang ia tumpahkan dalam setiap tiupan.
Majuang belajar memainkan saluang bukan dari sekolah seni, melainkan dari kehidupan itu sendiri. Dari mengamati orang tua di kampung, dari percobaan dan kegagalan, hingga akhirnya saluang menjadi perpanjangan dari napasnya. Ia sering tampil dalam berbagai acara budaya di Sumatera, namun Ngarai Sianok tetap menjadi tempat paling istimewa baginya, karena di sanalah suara saluangnya dapat bergema sempurna, seolah alam pun ikut mendengarkan.
Suara Saluang: Lebih dari Sekadar Musik
Bagi Majuang, memainkan saluang bukan sekadar pekerjaan, tetapi sebuah misi untuk melestarikan warisan budaya Minangkabau. Setiap hari, pengunjung Ngarai Sianok datang dan pergi. Ada yang terhanyut dalam alunan musiknya, ada yang sekadar memberi senyum atau uang sebagai apresiasi. Namun, penghargaan terbesar baginya adalah ketika anak muda datang dan bertanya tentang alat musik yang dimainkannya.
"Kadang-kadang suara saluang itu bisa beda-beda, tergantung lagunya, tergantung hati yang meniupnya," ujar Majuang suatu siang, menggambarkan bagaimana emosi dan perasaan memengaruhi alunan musiknya. Ia menekankan pentingnya melestarikan saluang agar tetap terdengar dari generasi ke generasi, meskipun dunia bergerak cepat dan teknologi terus berkembang.
Meskipun ia menyebut dirinya bukan musisi besar, bagi Majuang, kepuasan terbesar adalah ketika orang-orang merasa tenang dan mengenal saluang sebagai suara khas Minangkabau setelah mendengarkannya. Di usia senja, dengan rambut memutih dan napas yang tak sekuat dulu, ia tetap setia memainkan saluangnya, menjaga ritme alam Ngarai Sianok dengan alunan musik yang penuh doa, harapan, dan cinta pada budaya.
Ketika matahari terbenam, dan cahaya keemasan membias di sela jurang, suara saluang Majuang kembali mengalun, lebih dalam dan lebih lambat, seperti mengantar hari menuju malam. Para wisatawan mungkin telah pergi, tetapi Majuang tetap meniup saluangnya, mungkin untuk dirinya sendiri, mungkin untuk leluhur yang senantiasa mendengarkan.
Mengenal Saluang Lebih Dekat
Saluang, alat musik tradisional khas Minangkabau, terbuat dari bambu tipis (talang) dan dimainkan dengan cara ditiup. Suara yang dihasilkan melankolis, mendayu, dan menyentuh hati, seringkali membangkitkan rasa rindu, nostalgia, dan kekhusyukan spiritual. Nama "saluang" sendiri berasal dari kata saluiang dalam bahasa Minang, yang berarti bambu kecil atau bambu talang.
Lebih dari sekadar alat musik, saluang juga diyakini memiliki kekuatan magis yang dapat mempengaruhi perasaan pendengarnya. Pemain saluang yang mahir diyakini memiliki pitunang, suatu ilmu yang dapat membuat pendengarnya terhipnotis. Saluang telah dimainkan sejak masa nenek moyang orang Minangkabau dan biasa digunakan dalam berbagai acara adat, seperti pesta pernikahan, pertunjukan randai, dan malam hiburan nagari. Biasanya, saluang dimainkan berpasangan dengan dendang atau nyanyian khas Minang.
Saluang juga berfungsi sebagai media ekspresi budaya, dengan syair-syair yang seringkali menyuarakan kritik sosial, kisah cinta, atau kearifan lokal. Beberapa jenis saluang yang terkenal antara lain Saluang Darek, Saluang Sirompak (yang dikaitkan dengan unsur magis), dan Saluang Pauah. Di era modern, saluang tetap eksis, dengan banyak seniman Minang yang berupaya melestarikannya melalui berbagai pertunjukan dan kolaborasi.
Di sudut alam yang agung seperti Ngarai Sianok, musik bukan sekadar hiburan, tetapi sebuah warisan. Majuang, dengan seluruh tubuh dan jiwanya, adalah penjaganya, memastikan bahwa suara saluang terus bergema, dari bukit ke bukit, dari generasi ke generasi.