1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. HOT NEWS

Meneladani Fachruddin, ulama yang berkali-kali menolak jadi menteri era Soeharto

Penulis : Asis

18 Juli 2016 15:51

Belakangan ini ramai kabar Presiden Joko Widodo akan melakukan perombakan atau reshuffle kabinet jilid II. Sejak isu ini muncul, kasak-kasak muncul. Siapa yang bakal jadi menteri dan siapa bakal ditendang.

Kabar ini terus menggelinding bak bola salju. Kapan akhirnya, tak ada yang tahu. Kata Menpan RB Yuddi Crisnandi hanya presiden dan Tuhan yang tahu. Artinya, tidak ada kejelasan kapan presiden bakal merombak pembantunya tersebut.

Sejak dulu, reshuffle hanya menjadi isu elite. Berjalan senyap tanpa rakyat tahu. Ujung-ujungnya hanya kompromi untuk mengakomodir kepentingan politik tertentu, jauh dari niat untuk memperbaiki kualitas kinerja menteri demi kesejahteraan rakyat.

Sekarang, kursi menteri memang empuk menjadi incaran para menteri. Parpol ramai-ramai bergabung dan merapat ke pemerintah agar mendapatkan jatah kursi menteri. Berkoalisi agar kadernya bisa menjadi menteri. Bahkan ada parpol yang pragmatis, siapa yang jadi presiden akan ikut bergabung ke pemerintah agar dapat jatah menteri.

Posisi menteri memang lezat. Jabatan politik yang strategis. Ada seorang yang sudah menjadi gubernur saja rela mundur ketika sudah ditawari menjadi menteri. Posisi menteri seperti bisa jadi mesin ATM, benarkah demikian?

Orang sekarang begitu bernafsu mencari kekuasaan. Padahal belum tentu orang tersebut memang mampu mengemban amanat tersebut. Soal kapabilitas nomor sekian, yang penting dapat kekuasaan. Kondisi seperti ini membuat kita sedih, padahal kekuasan adalah amanat yang harus dipertanggungjawabkan.

Mari calon pejabat atau yang sudah menjabat sekarang berkaca pada sosok Abdur Rozak Fachruddin. Dia adalah mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Ulama besar ini dulu dikenal sebagai seorang pimpinan puncak Muhammadiyah yang amat sederhana, merakyat, berceramah agama dengan sederhana, menampilkan Islam dengan ramah, tanpa pamrih, dan hidup bersahaja sampai menghembuskan napas terakhirnya.

Ulama kharismatik yang dikenal dengan panggilan Pak AR ini pernah berkali-kali menolak jabatan menteri. Pada zaman Orde Baru, tiap kali Soeharto menyusun kabinet, nama AR selalu muncul dalam daftar. Tapi AR selalu menolaknya.

"Kulo mboten pantes dados menteriā€“ (saya tidak pantas jadi menteri)" demikian jawaban AR ketika diminta Soeharto untuk menjadi menteri.

AR menyadari kalau dirinya tidak pantas menjadi menteri meski secara keilmuaan dan pengalaman dalam memimpin organisasi sudah tidak diragukan lagi. Diketahui, ARĀ memimpin Muhammadiyah selama 22 tahun.

Tak hanya kisahnya soal menolak menjadi menteri. Ada kisah lain yang patut dicontoh dari sosok AR. Meski bukan pejabat negara, AR tetap menolak pemberian mobil mewah. Ketika itu pimpinan PT Astra menawarkan sebuah sedan Toyota keluaran terbaru, AR malah menolak dengan halus.

"Wah pripun, nyopir mobil mboten saged, terus nggowo mobil, rumit (Wah bagaimana, menyetir mobil tak bisa, terus membawa mobil, rumit)" katanya.

Itulah sosok AR yang patut diteladani. Walaupun kesempatan menjadi pejabat negara ada, AR tidak serta merta menerimanya. semoga pejabat sekarang bisa meneladani dari sosol AR. Semoga...

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : asisbanget

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya