Menindaklanjuti UU ITE Tentang Perlindungan Konsumen
Penulis : Khairazka Essaura
5 Januari 2023 13:30
Dewasa ini kita dihadapkan dengan kemajuan teknologi yang semakin hari semakin berkembang dan terus berkembang sesuai zaman. Tak bisa dipungkiri bahwa teknologi satu kata yang sangat berperan penuh dalam perkembangan kehidupan manusia saat ini. Diera seperti saat ini mungkin hampir sebagian penduduk di seluruh dunia termasuk di Indonesia sendiri pun sudah menikmati kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang semakin berkembang dan terus berkembang secara pesat sanggatlah membantu manusia, bahkan dengan kemajuan teknologi yang adapun bisa menciptakan peluang untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah tanpa harus meninggalkan rumah sekalipun.
Berbicara tentang teknologi tidak akan terpisahkan dengan media sosial yang merupakan hasil dari teknologi itu sendiri. Karakteristik media sosial pesan yang disampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa ke berbagai banyak orang, pesan yang disampaikan cenderung bebas, pesan yang disampaikan cenderung lebih cepat dibanding media lainnya.
Dari karakteristik yang telah disebutkan dapat kita mengetahui bahwa seseorang dapat mengirim pesan secara bebas dan sifat dari media sosial yang cenderung lebih cepat menjadi salah satu alasan konsumen untuk menulis keluhan di media sosial. Namun mungkin tanpa kita sadari, teknologi yang ada saat ini bisa berubah menjadi sebuah ancaman tersendiri, jika kita tidak dapat menggunakannya dengan baik. Media sosial dimanfaatkan masyarakat untuk menyampaikan informasi dari mulut ke mulut. Termasuk keluh kesah atau pengaduan konsumen saat mendapatkan barang atau jasa dari penyedia barang atau jasa tersebut. Misalnya, sebut saja media sosial Twitter, Instagram, dan Facebook adalah contoh media sosial yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk berbagi cerita atau pengalaman mengenai berbagai hal. Salah satunya berbagi pengalaman tentang suatu barang atau jasa di media sosial. Namun tak semua konsumen menceritakan pengalaman yang baik tentang barang atau jasa tersebut terkadang juga pengaduan tentang suatu barang atau jasa. Dan tak semua perusahaan atau pelaku usaha menanggapi hal tersebut dengan bertanggung jawab namun sebaliknya konsumen mendapatkan perlakuan dikriminalisasi dari pelaku usaha dengan menggunakan UU ITE Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik.
Kasus yang sempat ramai diperbincangkan tentang dikriminalisasi terhadap konsumen yakni Stella Monica yang menyampaikan pendapat dan keluhan atas barang dan jasa kecantikan salah satu rumah kecantikan yang ada di Surabaya. Sempat di vonis karena pencemaran nama baik akhirnya Stella Monica di bebaskan dari dakwaan tersebut. Kasus ini adalah satu dari banyaknya kasus dikriminalisasi terhadap konsumen.
Sudah hampir lima belas tahun UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE diundangkan dan berlaku di Indonesia. Diperbaharui dengan undang-undang No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meskipun sudah diperbaharui beberapa pasal karetnya masih selalu tampil dan memicu bisa terjadinya kriminalisasi. Tujuh ketentuan dari 54 pasal direvisi. Salah satunya penegasan perihal delik pencemaran nama baik. Awalnya masuk delik umum, setelah direvisi jadi delik aduan.
UU ITE yang sudah direvisi masih belum bisa memberikan kepastian hukum terhadap persoalan-persoalan yang terjadi. Pengajuan revisi pun kembali di ajukan dan proses yang begitu lamban, DPR telah menerima surat presiden Revisi UU ITE sejak 16 Desember 2021, namun baru dibacakan dalam rapat paripurna pada November 2022. Lalu bagaimanakah peran hukum dalam melindungi hak-hak konsumen, dan sudah relevankah hukum yang ada dalam memberikan kepastian hukum ?
Teknologi Dan Perlindungan Konsumen
Kemajuan teknologi dan industri telah membuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Masyarakat tradisional dalam memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen secara sederhana, dan hubungan antara konsumen dan masyarakat tradisional relatif masih sederhana, di mana konsumen dan produsen dapat bertatap muka secara langsung. Adapun masyarakat modern memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen secara massal, sehingga menciptakan konsumen yang banyak. Akhirnya hubungan antara konsumen dan produsen menjadi rumit, di mana konsumen tidak mengenal siapa produsennya, demikianlah pula sebaliknya, bahkan produsen tersebut berada di negara lain.Karena itu perlindungan konsumen merupakan konsekuensi dan bagian dari kemajuan teknologi dan industri. Untuk itu perlindungan konsumen tidak saja terhadap barang atau jasa yang berkualitas rendah namun juga terhadap barang atau jasa yang dapat membahayakan konsumen. Sehingga keputusan konsumen dapat memilih untuk membeli barang atau jasa yang tersedia.
Produsen bertanggung jawab terhadap perlindungan konsumennya. Pada hakikatnya tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri guna merebut kepercayaan publik yang kemudian bergerak ke arah pemetikan hasil dari kepercayaan publik tersebut. Pengaturan perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk melemahkan usaha dan aktivitas produsen, tetapi justru sebaliknya sebab perlindungan konsumen diharapkan mampu mendorong persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian diharapkan dapat membuat perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan sehat melalui penyediaan barang atau jasa yang berkualitas.
Hak Konsumen Untuk Didengar
Untuk melindungi kepentingan dalam mengonsumsi barang dan jasa konsumen memiliki beberapa hak di antaranya ialah hak untuk di dengar (the right to be heard) hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus di perhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut di dengar dalam pembentukan kebijakan tersebut. Selian itu, konsumen juga harus didengar setiap keluhannya dan harapannya dalam mengonsumsi barang atau jasa yang dipasarkan produsen. Hal ini tercantum dalam UU No.8 tahun 1999 Tentang Perlindungan KonsumenAda beberapa alasan mengapa konsumen memilih sosial media sebagai wadah untuk mengadukan keluh kesahnya, akses ke media sosial lebih mudah, efektif untuk pembelajaran kepada sesama konsumen dan peringatan bagi pelaku usaha dan dapat berfungsi kampanye negatif bagi pelaku usaha nakal.
Keluhan konsumen di media sosial sangat beragam mulai dari permasalahan yang tergolong berat atau tidak. Namun, sekecil apa pun persoalannya konsumen kerap kali memilih menulis keluhan di media sosial karena tidak membutuhkan usaha yang lebih.
Akan tetapi di dalam UUPK tidak ada penjabaran lebih lanjut tentang bagaimana konsumen menyampaikan keluhan yang di maksud, kecuali penyebutan penanganan keluhan konsumen sebagai salah satu tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya masyarakat dalam pasal 44 UUPK. UUPK hanya menyediakan pengaturan mengenai penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Sedangkan apabila merujuk pada pengertian keluhan dan sengketa memiliki arti yang berbeda. Dalam KBBI, keluhan diartikan sebagai keluh kesah, sengketa diartikan sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan. Dari pengertian ini dapat kita bedakan, belum tentu suatu keluhan merupakan suatu sengketa.
Kepastian Hukum Dalam Perlindungan Konsumen
Masyarakat dalam realitasnya dalam memperjuangkan hak ini konsumen Indonesia mesti berhadapan dengan risiko dikriminalisasi lewat UU ITE saat mereka komplain di media sosial apabila bukti tersebut tidak kuat. Berbagai kasus kriminalisasi konsumen yang mengeluhkan suatu layanan produk atau jasa di media sosial semakin marak terjadi. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi momok yang kerap menjerat konsumen. Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dijadikan ancaman untuk menjerat konsumen yang memuat keluhannya di media sosial karena di anggap mengandung unsur penghinaan maupun pencemaran nama baik.Kritik sebagai bentuk kebebasan berekspresi sekarang menjadi bumerang dengan adanya pasal ini, sedangkan hak atas kebebasan berpendapat sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum, baik itu hukum nasional maupun internasional, salah satunya pada Pasal 28 E ayat 3, serta Pasal23 ayat 2 UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Konsumen juga berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Kemudian hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang di terima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
UU ITE sekarang justru digunakan untuk mengancam dan mengintimidasi, terutama dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik. Setelah beberapa kali untuk di ajukan revisi, kabar baiknya pimpinan DPR sudah menerima surat dari presiden Nomor R58 tanggal 16 Desember 2021 tentang RUU Perubahan kedua UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Dan surpres tersebut telah dibacakan oleh ketua DPR di rapat paripurna, maka selanjutnya akan ditentukan alat kelengkapan dewan untuk membahas revisi UU ITE.
Dalam menyikapi hal ini konsumen sebaiknya tidak langsung mengadukan keluhan ke media sosial akan tetapi sebelum itu menyampaikan keluhan terhadap pelaku usaha atau ke lembaga-lembaga yang memiliki wewenang seperti LPKSM, BPSK atau bisa lapor ke Kepolisian . Beberapa pelaku usaha sudah memiliki bagian khusus yang menangani pengaduan konsumen. Pengaduan ke pelaku usaha penting dilakukan konsumen terlebih dahulu, karena dalam banyak kasus sengketa yang timbul antara konsumen dengan pelaku usaha berawal dari buruknya komunikasi antara konsumen dan pelaku usaha, termasuk minimnya pemahaman konsumen tentang produk yang dikonsumsi Apabila keluhan tersebut tidak ditanggapi perusahaan dan konsumen ingin menyampaikan keluhannya agar menjadi pembelajaran terhadap sesama konsumen maka bisa menulis dengan menggunakan nama inisial nama perusahaan/pelaku usaha tersebut.
Seperti yang kita tahu bahwa UU ITE No.27 ayat 3 masih menjadi pemicu kita untuk mendapatkan hukuman alangkah baiknya sebagai konsumen yang bijak untuk tidak mempublikasikan melalui media sosial sehingga orang lain dapat mengetahui secara bebas. Media sosial adalah ruang publik maka sebagai konsumen yang bijak juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian, saring sebelum sharing, yang mana menyampaikan keluhan dengan etika dan secara terus terang.
Penutup
- Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
- Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : khairazka-essaura
-
Tungguin Presiden Salat Jumat, Ibu Negara Iriana Joko Widodo Duduk Santui Di Emperan Masjid
-
Tidak Percaya Dengan Eksekutif, Anggota Dewan Siramkan Air Mineral Lalu Baku Hantam
-
Awan Dengan Warna Pelangi Antara Tajub Dan Heran
-
Misteri Jodoh, Abang-Abang Ternyata Pernah Jumpa Istri Pertama Kali Sebelas Tahun Yang Lalu Saat KKN
KOMENTAR ANDA
Artikel Lainnya
-
Generative AI dan hubungannya dengan masa depan SEO
18 Juni 2023 20:26
Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.