1. MERDEKA.COM
  2. >
  3. PLANET MERDEKA
  4. >
  5. HOT NEWS

Saatnya Beri Perhatian Lebih pada Konservasi Invertebrata

Penulis : Assyifa Syafrita

29 Desember 2022 12:16

Invertebrata merupakan kelompok hewan dengan tingkat keragaman tertinggi, hampir mencapai 95% dari keseluruhan hewan di muka bumi. Invertebrata yang menghuni ekosistem laut dan air tawar memberikan kontribusi penting bagi keanekaragaman hayati global dan memberikan layanan signifikan yang memiliki efek berjenjang di seluruh ekosistem. Kelompok invertebrata yang sering ditemukan adalah spons, echinodermata, mollusca, dan arthropoda (Ina et al., 2015). Invertebrata yang terdapat di laut telah mewakili biodiversitas keseluruhan ekosistem di laut, seperti invertebrata bentik yang jumlah spesiesnya merupakan yang terbanyak di antara organisme-organisme laut lainnya (Costello et al., 2010). Sedangkan data mengenai keanekaragaman sebagian besar invertebrata di perairan tawar, khususnya di daerah tropik, masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan organisme lainnya (Gatti, 2016). Dan kelompok ini sangat kurang terwakili dalam penilaian status konservasi dan sering diabaikan dalam upaya konservasi perairan.

Hilangnya keanekaragaman hayati telah menjadi perhatian utama secara global. Sampai saat ini, penilaian konservasi yang komprehensif difokuskan pada vertebrata, terutama mamalia darat besar (Ceballos et al. 2017). Padahal, risiko kepunahan tertinggi dan hilangnya keanekaragaman hayati terbesar diperkirakan akan ditemukan pada invertebrata, khususnya serangga. Hal ini dikarenakan invertebrata dalam banyak kasus kurang dikenal, sehingga pengetahuan tentang status ancaman invertebrata sangat terbatas, dan jarang dipertimbangkan dalam ukuran perubahan keanekaragaman hayati secara global (Clausnitzer et al. 2017). 

Perubahan jumlah keanekaragaman hayati juga disebabkan oleh perubahan ekosistem. Menurut WWF (2016), air tawar merupakan ekosistem yang mengkhawatirkan di seluruh dunia. Hal ini terutama berlaku pada ekosistem yang secara langsung terdampak aktivitas antropogenik. Keanekaragaman invertebrata di ekosistem air tawar terancam oleh rusak atau berkurangnya habitat, beban nutrisi yang berlebihan, polusi air (khususnya kimia) (Rosset et al. 2012), modifikasi aliran, dan spesies invasif (Gatti, 2016). Selain pengaruh aktivitas antropogenik, peningkatan suhu air juga dapat meningkatkan risiko kepunahan yang tinggi seperti pada kelompok crustacea. Perubahan pola curah hujan dan penurunan kualitas air akibat meningkatnya suhu pun berpengaruh pada invertebrata bentik (Gatti, 2016).

Salah satu contoh ekosistem perairan yang merupakan habitat penting bagi beberapa organisme air tawar dan memainkan peran penting dalam menjaga keanekaragaman hayati regional adalah danau kecil (situ) yang terdapat di Kota Bogor. Danau-danau kecil tersebut merupakan habitat utama yang mendukung kekayaan makroinvertebrata. Namun, habitat perairan dangkal seperti danau kecil sangat rentan terhadap dampak antropogenik yang merupakan ancaman serius bagi makroinvertebrata, termasuk serangga perairan yang  membentuk enam persen dari semua spesies serangga (Dijkstra et al. 2014). Serangga ini memainkan peran ekologis penting dalam menjaga ekosistem air tawar, termasuk daur ulang nutrisi dan merupakan komponen penting dari jaring makanan dalam ekosistem perairan. 

Ancaman lainnya bagi invertebrata adalah perdagangan, terutama pada invertebrata laut, sehingga terjadinya penurunan biodiversitas di Indonesia dan memicu terjadinya over-exploitation satwa liar yang dilindungi dan bernilai ekonomi tinggi (Hidayat, 2006). Sebagai contoh kasus di Surabaya, hewan invertebrata laut yang diperdagangkan di antaranya Filum Porifera, Coelenterata, Annelida, Mollusca, Arthropoda, dan Echinodermata. Dari keenam filum tersebut, terdapat jenis-jenis yang dilindungi dan ada pula yang masuk apendiks II, IUCN dan CITES. Hewan-hewan tersebut berasal dari laut di Banyuwangi, Situbondo, Bali dan Papua. 

Invertebrata yang bernilai ekonomi tinggi menyebabkan meningkatnya keterancaman hewan-hewan ini di alam. Over-exploitation dan kerusakan habitat telah menyebabkan beberapa jenis invertebrata hampir punah (Pasaribu, 1988). Oleh karena itu, perlu adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur konservasi biodiversitas. Perdagangannya diawasi dan diatur dalam Apendiks II CITES, yaitu jenis yang dapat dimanfaatkan namun dengan kuota terbatas.

Saat ini ada beberapa peraturan yang telah dibuat dalam rangka mendukung konservasi biodiversitas, di antaranya seperti UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan PP No. 7 Tahun 1999 tentang biota yang ditetapkan dalam golongan yang dilindungi dan hewan endemik yang penyebarannya terbatas. 

Peraturan-peraturan tersebut belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan minimnya sosialisasi ke masyarakat serta diperparah lagi oleh masalah ekonomi yang dialami masyarakat. Contohnya pada masyarakat di tepi pantai yang berprofesi sebagai nelayan, mereka tidak memilah sumber daya alam apa saja yang boleh diambil atau yang dilindungi. Mereka hanya memikirkan pemenuhan kebutuhannya saja.  Padahal masyarakatlah yang memegang peranan penting dalam upaya konservasi dan pemerintah sebagai penentu kebijakan (Arbi, 2016). 

Menurut Samways dan Böhm (2012), terdapat empat pendekatan untuk konservasi invertebrata yang berfokus pada perlindungan (i) ekosistem yang hidup dan tahan secara alami, (ii) fitur dan patch yang penting untuk fungsi kehidupan spesies, (iii) spesies tertentu, biasanya yang terancam, dan (iv) sistem sosio-ekologis di mana kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal terkait dengan inisiatif konservasi. Strayer (2006) menganjurkan konservasi invertebrata berdasarkan pendekatan berbasis spesies menuju pendekatan regional yang memenuhi kebutuhan manusia, sambil melestarikan keanekaragaman hayati. 

Pendekatan skala yang lebih luas untuk konservasi invertebrata dengan mengintegrasikan ekosistem air tawar dan laut sesuai dengan konsep “critical management zones" dan "catchment management zones" (Abell et al., 2007). Perairan laut dan air tawar sering kekurangan data keanekaragaman hayati secara spasial, sehingga membutuhkan skala perlindungan dan pengelolaan yang lebih bersifat transnasional.

Penggunaan flagship species dengan pendekatan fungsi ekologis penting digunakan untuk menarik perhatian dalam konservasi keanekaragaman hayati (Zacharias dan Roff, 2001; Veríssimo, et al., 2011). Flagship species perlu memiliki sifat yang menarik bagi konservan. Namun, hal ini lebih mudah ditemukan pada hewan vertebrata daripada invertebrata. Cumi-cumi raksasa Architeuthis memiliki atribut yang diperlukan untuk mewakili konservasi keanekaragaman hayati invertebrata laut karena memiliki daya tarik publik dan dapat mewakili ekosistem laut yang rentan (Guera dkk., 2011).  Namun, ini masih merupakan bidang baru untuk invertebrata air, dan penelitian interdisipliner perlu dilakukan yang melibatkan ilmu sosial, pemasaran dan ekonomi, serta biologi konservasi, untuk secara jelas menentukan tujuan, dan mengidentifikasi audiens target dan taksa unggulan. 

Dengan demikian, konservasi keanekaragaman hayati invertebrata juga tidak dapat dilakukan secara terpisah dari keterlibatan dengan mata pencaharian manusia, masyarakat dan budaya. Berbagai pendekatan untuk konservasi invertebrata air, seperti menyadari adanya konektivitas yang tinggi di dalam dan di antara ekosistem laut dan air tawar, perlu diterapkan untuk mengelola ancaman tersebut, menerima bahwa dalam beberapa kasus tindakan konservasi dapat menyebabkan hasil yang tidak nyaman bagi masyarakat manusia. Mengingat masih rendahnya pengelolaan dalam konservasi perairan, dan melihat kemungkinan bahwa kualitas dan kuantitas air dapat terus menurun, pengelolaan konservasi yang efektif mungkin terlambat untuk beberapa invertebrata air yang sangat terancam.

DAFTAR PUSTAKA

Abell R, Allan, JD, Lehner B. 2007. Unlocking the potential of protected areas for freshwaters. Biological Conservation 134: 48–63.

Arbi, U. Y. (2016). Populasi dan sebaran jenis moluska dilindungi di perairan Selat Lembeh, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Journal of Tropical Biodiversity and Biotechnology, 1(1), 31-37.

Böhm M, Kemp R, Baillie JEM, Collen B. 2012. The unraveling underworld. In Spineless: Status and Trends of the World’ s Invertebrates, Collen B, Böhm M, Kemp R, Baillie JEM (eds). Zoological Society of London: London; 12–23.

Ceballos  G,  Ehrlich  PR,Dirzo  R.  2017.  Biological  annihilation  via  the ongoing  sixth  mass  extinction  signaled  by  vertebrate  population losses and declines. Proc Natl Acad Sci USA 114(30):E6089-E6096.

Clausnitzer  V,  Simaika  JP,  Samways  MJ,  Daniel  BA.  2017.  Dragonflies as  flagship  for  sustainable  use of  water  resources  in  environmental education. Appl Env Edu Comm 16(3): 196-209.

Collier Kevin J, Probert P. Keith, Jeffries Michael. (2016). Conservation of aquatic invertebrates: concerns, challenges and conundrums. Environmental Research Institute. The University of Waikato. Hamilton, New Zealand. 5, 819-831. doi:10.1002/aqc.2710

Dijkstra  KDB,  Monaghan  MT,  Pauls  SU.  2014.Freshwater biodiversity and aquatic insect diversification. Annu Rev Entomol 59(1):143-163.

Gatti, R. C. (2016). Freshwater biodiversity: A review of local and global threats.

Guerra Á, González ÁF, Pascual S, Dawe EG. 2011. The giant squid Architeuthis: an emblematic invertebrate that can represent concern for the conservation of marine biodiversity. Biological Conservation 144: 1989–1997.

Hidayat N, 2006. Penegakan Hukum dalam Perdagangan Satwa Liar. Prosiding Lokakarya dan Pelatihan Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Hidupan Liar. 23-27.

International Journal of Environmental Studies, 73(6), 887-904.

Indrawati, P., Tanziyah, L. L. A., & Widiyawati, E. (2016). Monitoring perdagangan invertebrata laut sebagai spesimen akuarium di Surabaya. Sains & Matematika, 4(2).

Pasaribu, B.P. 1988. Status of Giant Clams in Indonesia dalam Copland, J.W. and Lucas, J.S. (eds.). Giant Clam in Asia and The Pacific. Monograph 9. ACIAR Monograph Series, 1. Canberra: 44– 46.

Rosset  V,  Simaika  JP,  Arthaud  F,  Bornette  G,  Vallod  D,  Samways  MJ, Oertli   B.   2012.   Comparative   assessment   of   scoring   methods   to evaluate  the  conservation  value  of  pond  and  small  lake  biodiversity. Aquat Conserv 23(1): 23-36.

Strayer DL. 2006. Challenges for freshwater invertebrate conservation. Journal of the North American Benthological Society 25: 271–287.

Veríssimo D, MacMillan DC, Smith RJ. 2011. Toward a systematic approach for identifying conservation flagships. Conservation Letters 4: 1–8

Wakhid, W., Rauf, A., Krisanti, M., Sumertajaya, I. M., & Maryana, N. (2020). Aquatic insect assemblages in four urban lakes of Bogor, West Java, Indonesia. Biodiversitas journal of Biological Diversity, 21(7).

Zacharias MA, Roff JC. 2001. Use of focal species in marine conservation and management: a review and critique. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems 11: 59–76.

Ditulis oleh:
Shovinda Rahmadina, Assyifa Syafrita, Dwiky Rahmadi Aswan

"Tugas mata kuliah Biodiversitas Tropika Program Magister, Pascasarjana Departemen Biologi, FMIPA UNAND dengan dosen pengampu Dr. Mildawati"

  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : assyifa-syafrita

KOMENTAR ANDA

Merdeka.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaksana dan etislah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Artikel Lainnya