Klarifikasi Brigjen Djuhandhani Soal Dugaan Penggelapan Sertifikat Tanah
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro, memberikan klarifikasi terkait laporan dugaan penggelapan sertifikat tanah yang dilaporkan oleh Brata Ruswanda.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro, menjadi sorotan setelah dilaporkan ke Divisi Propam Polri atas dugaan penggelapan sertifikat tanah. Laporan tersebut dilayangkan oleh Brata Ruswanda melalui kuasa hukumnya, Poltak Silitonga, dengan nomor SPSP2/000646/II/2025/BAGYANDUAN, tertanggal 10 Februari 2025. Dugaan penggelapan ini melibatkan Brigjen Djuhandhani dan tiga anak buahnya. Peristiwa ini bermula dari laporan dugaan pemalsuan dokumen tanah yang diterima Bareskrim Polri.
Brigjen Djuhandhani membantah tuduhan tersebut. Dalam klarifikasinya kepada awak media di Jakarta, Sabtu, ia menjelaskan bahwa sertifikat tanah yang menjadi barang bukti dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen tersebut, setelah diperiksa di laboratorium forensik (labfor), dinyatakan palsu. Ia menekankan bahwa seluruh proses penyidikan telah dilakukan sesuai aturan yang berlaku. "Kalau dilaporkan sebagai penggelapan, silakan," tegasnya.
Lebih lanjut, Brigjen Djuhandhani menjelaskan prosedur pengembalian barang bukti. Menurutnya, sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), barang bukti yang sudah tidak diperlukan dalam proses penyidikan akan dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, dalam kasus ini, pengembalian sertifikat akan disertai catatan bahwa sertifikat tersebut dinyatakan palsu berdasarkan hasil labfor, guna mencegah potensi penyalahgunaan di kemudian hari. Proses gelar perkara terkait hal ini juga sedang berlangsung.
Kronologi Laporan dan Klarifikasi
Poltak Silitonga, kuasa hukum Brata Ruswanda, menyatakan bahwa sertifikat tanah asli milik kliennya telah diserahkan kepada penyidik Dittipidum Bareskrim Polri selama tujuh tahun tanpa kejelasan. Ia mengungkapkan ketidakpercayaan kliennya terhadap proses penyidikan dan mendesak pengembalian sertifikat tersebut. "Surat asli milik klien kami ditahan tanpa dasar hukum yang jelas dan laporannya menggantung tak ada kejelasan," ujar Poltak.
Brigjen Djuhandhani menjelaskan bahwa setelah gelar perkara, barang bukti akan dikembalikan. Namun, ia menegaskan bahwa pengembalian tersebut akan disertai catatan mengenai hasil labfor yang menyatakan sertifikat tersebut tidak asli. Langkah ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan sertifikat palsu tersebut. Ia juga menyatakan bahwa laporan terhadap dirinya dan tiga anak buahnya di Divisi Propam Polri akan menjadi bahan evaluasi internal untuk meningkatkan profesionalitas dalam proses penyidikan.
Brigjen Djuhandhani menekankan komitmennya terhadap profesionalisme dan kepatuhan terhadap hukum. Ia menyatakan bahwa semua proses penyidikan yang dilakukannya selalu melalui prosedur yang benar. "Pada prinsipnya itu koreksi buat kami agar kami tetap profesional dan semua yang kami laksanakan dalam proses penyidikan, insyaallah selalu melalui proses secara profesional," ujarnya.
Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Proses Hukum
Proses hukum terkait laporan dugaan penggelapan sertifikat tanah ini masih terus berlanjut. Baik pihak pelapor maupun terlapor memiliki argumen masing-masing. Pihak pelapor menekankan pada lamanya proses penyidikan dan ketidakjelasan nasib sertifikat tanah kliennya. Sementara itu, pihak terlapor menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukannya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan bahwa sertifikat yang dilaporkan ternyata palsu.
Kejelasan mengenai kasus ini masih dinantikan. Proses gelar perkara yang sedang berlangsung diharapkan dapat memberikan titik terang dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Publik pun menunggu hasil investigasi dari Divisi Propam Polri terkait laporan dugaan pelanggaran etik yang dilayangkan terhadap Brigjen Djuhandhani dan tiga anak buahnya.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum. Proses penyidikan yang jelas dan terukur sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.