Pakar Tegaskan: Lembaga Penyiaran dan Platform Digital 'Dua Spesies Berbeda' dalam Regulasi Penyiaran Digital
Pakar hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Ahmad M. Ramli, menjelaskan mengapa lembaga penyiaran dan platform digital memiliki perbedaan fundamental dalam konteks Regulasi Penyiaran Digital.
Pakar hukum terkemuka dari Universitas Padjadjaran, Prof. Ahmad M. Ramli, baru-baru ini menyoroti perbedaan fundamental antara lembaga penyiaran dan platform digital. Ia menegaskan bahwa kedua entitas ini merupakan "dua spesies berbeda" yang tidak dapat digeneralisasi dalam satu kerangka regulasi. Pandangan ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).
RDPU tersebut diselenggarakan oleh Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada hari Senin. Dalam kesempatan itu, Prof. Ramli menekankan bahwa anatomi digital kedua entitas ini sangat berbeda. Oleh karena itu, upaya menyamakan keduanya dalam definisi materi muatan regulasi yang sama akan menjadi tidak tepat dan tidak proporsional.
Menurutnya, platform digital beroperasi di luar persyaratan Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pers yang berlaku untuk lembaga penyiaran. Apabila ada keinginan untuk menggabungkan pengaturan keduanya, harus ada pembedaan proporsional mengenai hak dan kewajiban masing-masing. Hal ini penting demi terciptanya Regulasi Penyiaran Digital yang adil dan efektif.
Anatomi Digital: Mengapa Berbeda?
Prof. Ahmad Ramli menjelaskan bahwa dari sisi status dan karakter, platform digital tidak dapat disamakan dengan lembaga penyiaran karena memiliki fungsi yang berbeda secara fundamental. Lembaga penyiaran, misalnya, bersifat kuratif. Mereka mengelola dan mengontrol isi siaran berdasarkan prinsip jurnalistik dan etika profesi, serta bertanggung jawab penuh atas konten yang disiarkan.
Di sisi lain, platform digital seperti YouTube, Instagram, atau TikTok, beroperasi dengan model user-generated content (UGC). Model ini membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi kreator konten hanya dengan bermodal perangkat dan koneksi internet. Tanggung jawab atas konten seringkali berada pada pengguna, bukan platform secara langsung.
Perbedaan mendasar ini membuat penyamaan regulasi menjadi tidak produktif. Prof. Ramli menggarisbawahi bahwa menyamakan platform digital dengan lembaga penyiaran tidak akan menguntungkan industri penyiaran, industri pers, maupun publik sebagai konsumen informasi. Ini akan menciptakan ketidakadilan dan potensi hambatan inovasi.
Prinsip Equal Playing Field dalam Regulasi Penyiaran Digital
Dalam konteks penyusunan Regulasi Penyiaran Digital, Prof. Ramli mengingatkan pentingnya prinsip equal playing field. Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan persaingan yang adil bagi semua pihak, tanpa memihak salah satu entitas. Regulasi harus mampu mengakomodasi karakteristik unik dari masing-masing "spesies" media.
Regulasi berbasis prinsip equal playing field dapat mencakup beberapa hal krusial. Pertama, diperlukan regulasi yang proporsional dan berbasis karakteristik teknologi. Ini berarti aturan harus membedakan secara jelas antara lembaga penyiaran dan platform digital berdasarkan cara kerja dan dampak teknologi mereka.
Kedua, regulasi harus menegaskan bahwa lembaga penyiaran dapat menggunakan model platform atau multiplatform. Hal ini memungkinkan mereka untuk lebih fleksibel dalam menyediakan konten berkualitas dan terpercaya kepada audiens. Fleksibilitas ini penting agar lembaga penyiaran tetap relevan di era digital yang dinamis.
Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan Regulasi Penyiaran Digital dapat mendorong inovasi. Selain itu, regulasi juga akan menjaga kualitas informasi yang beredar di masyarakat, sambil tetap mengakui peran dan karakteristik unik dari setiap jenis media.