Dukungan Sosial: Kunci Sukses Perkebunan Sawit Lestari di Lahan Gambut
Riset terbaru ungkap pentingnya dukungan sosial dalam keberhasilan pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan di lahan gambut, yang memberikan dampak positif ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut tropis, selama ini seringkali menuai kontroversi. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengelolaan yang berkelanjutan mampu memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang signifikan, bahkan berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Secara ekonomi, sawit berkontribusi besar terhadap devisa negara, pembangunan daerah, dan peningkatan kesejahteraan petani. Pandemi COVID-19 lalu membuktikan hal ini, di mana sektor pertanian, khususnya sawit, mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang positif. Dari sisi sosial, perkebunan sawit turut mendorong pembangunan pedesaan, mengurangi kemiskinan, dan pemerataan ekonomi.
Yang mengejutkan, pengelolaan sawit yang baik juga memberikan dampak positif bagi lingkungan. Tanaman sawit menyerap CO₂, menghasilkan O₂, dan menyimpan karbon dalam biomassanya, berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Kemampuannya menyimpan karbon ini bahkan sulit diimbangi tanaman lain.
Pengelolaan Air dan Dukungan Sosial: Kunci Perkebunan Sawit Berkelanjutan
Riset selama dua tahun (2020-2022) menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan sawit berkelanjutan di lahan gambut sangat bergantung pada pengelolaan air yang tepat dan dukungan sosial masyarakat sekitar. Perkebunan sawit di lahan gambut berbeda dengan lahan kering, karena pengaturan airnya melibatkan kesatuan hidrologis gambut yang lebih luas.
Dukungan masyarakat sangat krusial karena pengelolaan air tidak hanya bergantung pada kebun itu sendiri, tetapi juga lingkungan sekitarnya. Sinergi antara pihak kebun dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan pengelolaan air yang berkelanjutan. Seringkali, teori pengelolaan sawit berkelanjutan gagal karena minimnya dukungan sosial.
Rekomendasi pengelolaan air harus memperhatikan aspek ekologi, menjaga kestabilan muka air tanah untuk produktivitas optimal, dan mendapat dukungan sosial dari masyarakat. "Dengan kata lain, seringkali berbagai teori ilmiah untuk mengelola kebun kelapa sawit di lahan gambut secara berkelanjutan, justru gagal karena dukungan masyarakat di sekitar kebun minim," ungkap Dr. Rima Purnamayani.
Pengelolaan Air yang Optimal
Pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan. Fluktuasi kedalaman muka air menjadi indikator utama yang harus dipantau. Drainase tidak boleh berlebihan, tetapi harus memastikan pertumbuhan tanaman yang baik. Kedalaman muka air tanah ideal harus dijaga agar tidak terlalu dangkal atau dalam.
Penelitian menunjukkan produktivitas sawit menurun jika air tanah terlalu dangkal (<67 cm), tetapi meningkat hingga batas tertentu (101 cm). Regulasi pemerintah yang menetapkan kedalaman rata-rata 40 cm akan menyulitkan pencapaian produktivitas optimal. Simulasi di Kabupaten Siak, Riau, menunjukkan kedalaman muka air ≤ 50 cm masih aman dan ekonomis, dengan kelembapan tanah ≥ 0,6 (m3/m3).
Metode Multi-Dimensional Scaling (MDS) menunjukkan kebun dengan pengelolaan air seperti ini memiliki keberlanjutan yang tinggi (nilai 84,17). Strategi optimalisasi meliputi pemasangan bendung/weir, pemblokiran kanal, penanaman vegetasi penutup, dan sistem peringatan dini berbasis pemantauan kelembapan dan muka air tanah secara *real-time*. Integrasi dengan edukasi, kemitraan, dan regulasi yang tepat juga sangat penting.
Dengan dukungan sosial yang kuat, teknologi dan inovasi hasil riset dapat diterapkan secara efektif. Perkebunan sawit di lahan gambut pun dapat memberikan kontribusi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan.