Gempa Myanmar: Bencana Alam, Hukuman Semesta untuk Junta?
Gempa bumi dahsyat di Myanmar menimbulkan korban jiwa ribuan dan memicu spekulasi tentang 'hukuman semesta' bagi junta militer yang berkuasa.

Gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,7 mengguncang Myanmar pada 28 Maret 2025, menewaskan lebih dari 3.000 jiwa dan menimbulkan kerusakan besar. Kejadian ini terjadi di tengah konflik internal yang berkepanjangan antara junta militer dan kelompok oposisi. Kedalaman gempa yang dangkal, hanya 10 km, menyebabkan kerusakan yang jauh lebih parah dibandingkan gempa Yogyakarta 2006 yang memiliki magnitudo lebih rendah.
Direktur Palang Merah Internasional untuk regional Asia Pasifik, Alexander Matheou, menyebut gempa Myanmar sebagai bencana terparah di Asia dalam 100 tahun terakhir. Gempa susulan yang mencapai 288 kali, salah satunya dengan magnitudo 6,7, semakin memperparah situasi. Perkiraan korban jiwa bahkan mencapai lebih dari 10.000 orang, menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS).
Berbeda dengan penolakan bantuan internasional saat terjadi Siklon Nargis pada 2008, junta Myanmar kali ini meminta bantuan internasional. Hal ini menunjukkan kesulitan yang dihadapi junta dalam menangani bencana ini, terutama di tengah perang saudara yang telah berlangsung bertahun-tahun dan membuat mereka hanya menguasai sekitar 20 persen wilayah Myanmar.
Hukuman Semesta bagi Junta?
Banyak warga Myanmar, yang percaya pada pertanda alam dan tahayul, melihat gempa ini sebagai isyarat bahwa kekuasaan junta pimpinan Min Aung Hlaing akan segera berakhir. Kudeta yang dilakukan Min Aung Hlaing pada 2021 terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi, penindasan terhadap pendukung Suu Kyi, dan perang kotor terhadap kelompok etnis serta oposisi telah memicu kemarahan rakyat. Min Aung Hlaing juga diburu oleh jaksa Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan kemanusiaan.
U Sein Lwin, seorang pensiunan petugas imigrasi, menyatakan kepada Aljazeera, "Gempa bumi ini adalah peringatan bahwa hukuman untuk Min Aung Hlaing bakal segera tiba." Pandangan ini merefleksikan keyakinan sebagian besar warga Myanmar bahwa alam akan menghukum kekejaman yang telah dilakukan oleh junta.
Gempa bumi ini juga terjadi sehari setelah Min Aung Hlaing memimpin parade militer untuk memperingati Hari Angkatan Bersenjata Myanmar. Kejadian ini semakin memperkuat keyakinan sebagian warga Myanmar bahwa semesta telah berpihak kepada oposisi.
Naypyidaw, Pusat Kekuasaan yang Terdampak
Berbeda dengan Siklon Nargis yang melanda daerah pesisir, gempa 28 Maret menghantam Naypyidaw, pusat pemerintahan Myanmar yang berada di bawah kendali langsung Min Aung Hlaing. Naypyidaw menjadi situs bencana terparah kedua setelah Mandalay, dengan jumlah korban tewas mencapai 511 orang. Kerusakan parah juga terjadi di kota-kota lain seperti Sagaing, Magway, Bago, dan Shan.
Kerusakan di Naypyidaw meliputi gedung-gedung pemerintahan, jalan, jembatan, perumahan pegawai negeri, rumah sakit, hotel, bendungan, apartemen, dan fasilitas publik lainnya. Bahkan gedung kementerian luar negeri dan badan penanggulangan bencana alam rusak parah. Kompleks elite yang dihuni para pemimpin dan mantan pemimpin Myanmar juga mengalami kerusakan signifikan. Laporan dari The Irrawaddy menyebutkan kerusakan yang sangat parah di berbagai infrastruktur penting.
Kerusakan di Naypyidaw menjadi perhatian banyak pihak, karena menunjukkan betapa dahsyatnya gempa tersebut dan betapa rentannya pusat kekuasaan junta terhadap bencana alam. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa bencana alam ini tidak pernah terjadi sebelumnya pada skala yang sama, termasuk pada saat Siklon Nargis 2008.
Ketidakmampuan Junta Mengatasi Bencana
Reaksi junta terhadap gempa bumi ini menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam menangani krisis. Min Aung Hlaing meminta bantuan internasional, tetapi membatasi akses tim penyelamat ke daerah-daerah yang dikuasai oposisi. Bantuan difokuskan ke Naypyidaw, Mandalay, dan daerah-daerah yang masih berada di bawah kendali junta. Hal ini menunjukkan prioritas junta yang lebih kepada mempertahankan kekuasaan daripada menyelamatkan seluruh rakyat Myanmar.
Ketidakmampuan junta juga terlihat dari minimnya informasi dan akses transportasi yang buruk akibat perang dan pemutusan akses informasi oleh junta. Jumlah korban tewas pun simpang siur karena minimnya informasi. Badan-badan bantuan asing, termasuk Palang Merah Internasional, juga kesulitan bergerak bebas. Gempa bumi ini mengungkap fakta tentang ketidaksiapan junta dalam menghadapi bencana dan pengelolaan krisis.
Ketidakmampuan junta dalam mengatasi bencana ini bisa menjadi peluang bagi oposisi untuk mempercepat transformasi politik di Myanmar. Bagi banyak warga Myanmar, bencana alam ini dilihat sebagai hukuman kosmik atau semesta atas kekejaman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh rezim junta. Gempa bumi 28 Maret bukan hanya bencana alam, tetapi juga simbol dari keruntuhan yang mungkin akan segera terjadi.