Lebaran 2025: Momentum Merajut Kembali Persatuan di Tengah Polarisasi Politik
Lebaran 2025 diharapkan menjadi momentum rekonsiliasi nasional, menyatukan kembali masyarakat Indonesia yang terpolarisasi pasca Pemilu 2024 melalui silaturahmi dan dialog.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, Bagaimana? Lebaran 2025 diharapkan menjadi momentum untuk merajut kembali persatuan di Indonesia, yang tengah menghadapi polarisasi politik pasca Pemilu 2024. Masyarakat, elit politik, dan media sosial memiliki peran penting dalam upaya ini. Di Jakarta, berbagai pihak berupaya membangun dialog dan mengurangi ketegangan sosial yang disebabkan oleh perbedaan pandangan politik. Hal ini penting karena polarisasi mengancam kohesi sosial dan harmoni bangsa. Upaya rekonsiliasi perlu dilakukan untuk menciptakan Indonesia yang lebih bersatu.
Polarisasi yang terjadi bukan hanya sekadar perbedaan pendapat, tetapi telah menciptakan sekat sosial yang menghambat komunikasi antarwarga. Survei menunjukkan adanya pembagian masyarakat ke dalam dua kelompok besar dengan pandangan politik yang berbeda. Situasi ini diperparah oleh penggunaan media sosial dan narasi politik yang memecah belah.
Oleh karena itu, Lebaran 2025 diharapkan dapat menjadi momen untuk membangun kembali jembatan persatuan. Tradisi halalbihalal dan semangat silaturahmi dapat dimanfaatkan untuk mencairkan suasana dan membuka dialog yang lebih sehat antar berbagai pihak, termasuk elit politik.
Melepas Polarisasi: Membangun Jembatan Persatuan di Hari Raya
Polarisasi politik di Indonesia telah menciptakan perpecahan sosial yang signifikan. Lili Romli, Peneliti Senior Pusat Riset Politik BRIN, menyatakan bahwa polarisasi mengganggu kohesi sosial dan harmoni. Survei UI menunjukkan pembagian masyarakat menjadi dua kelompok besar berdasarkan pilihan politik. Faktor-faktor seperti perbedaan pilihan politik, dugaan ketidaknetralan penguasa, dan narasi negatif di media sosial memperparah situasi ini.
Dampak polarisasi meluas ke kehidupan sosial, menghambat diskusi sehat dan menciptakan rasa saling curiga. Namun, Lebaran 2025 dapat menjadi momen rekonsiliasi. Halalbihalal, menurut Lili Romli, memiliki potensi untuk mencairkan suasana dan mendorong rekonsiliasi, baik di tingkat masyarakat maupun elit politik.
Momentum Lebaran dapat dimanfaatkan untuk membangun dialog yang lebih inklusif. Silaturahmi memungkinkan berbagai pihak untuk bertemu dalam suasana yang lebih kondusif, membuka ruang diskusi yang lebih terbuka, dan mengurangi sekat-sekat politik.
Pentingnya menekan ego dan dendam politik juga ditekankan. Pemilu telah usai, dan saatnya membuka lembaran baru dengan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok. Solidaritas sosial melalui tradisi berbagi di Lebaran juga dapat memperkuat rasa kebersamaan.
Peran Nasionalisme dalam Memperkuat Persatuan
Caroline Paskarina dari Universitas Padjadjaran menekankan kekuatan nasionalisme di masyarakat Indonesia. Meskipun fenomena seperti kampanye daring #KaburAjaDulu menunjukkan kepedulian publik terhadap kebijakan pemerintah, polarisasi tetap terjadi karena kegagapan elit dalam merespons kritik.
Pemerintah perlu meningkatkan komunikasi yang lebih partisipatif dan dialogis dengan masyarakat. Langkah konkret untuk memperkuat nasionalisme meliputi peningkatan keterbukaan pemerintah, mendorong kesadaran akan perbedaan politik sebagai bagian dari demokrasi yang sehat, dan membangun narasi persatuan melalui berbagai platform.
Dengan demikian, peran pemerintah sangat krusial dalam membangun kembali rasa persatuan. Responsif terhadap kritik dan aspirasi rakyat dapat mencegah meningkatnya ketegangan politik dan memperkuat rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Pentingnya menciptakan ruang dialog yang sehat dan inklusif antara pemerintah dan masyarakat menjadi kunci utama dalam mengatasi polarisasi dan memperkuat rasa kebersamaan.
Bijak Bermedia Sosial: Mengurangi Polarisasi di Ruang Digital
Media sosial berperan signifikan dalam memperkuat polarisasi di Indonesia. Penggunaan buzzer dan penyebaran hoaks telah memperburuk perpecahan. Caroline Paskarina menekankan bahwa media sosial memiliki dua sisi: sebagai sarana edukasi dan demokrasi, serta sebagai sumber perpecahan jika tidak digunakan dengan bijak.
Literasi digital menjadi kunci untuk menangkal polarisasi di media sosial. Masyarakat perlu mengecek kebenaran informasi sebelum membagikannya, menghindari debat provokatif, tidak terprovokasi oleh buzzer, dan menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan positif dan nasionalisme.
Dengan demikian, bijak dalam menggunakan media sosial menjadi tanggung jawab bersama. Masyarakat perlu aktif dalam menyaring informasi dan menghindari penyebaran hoaks atau ujaran kebencian yang dapat memperparah polarisasi.
Pentingnya literasi digital dan tanggung jawab individu dalam menggunakan media sosial sangat krusial dalam menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan kondusif.
Merajut Kembali Tenun Kebangsaan di Lebaran 2025
Lebaran 2025 dapat menjadi titik balik untuk mengurangi ketegangan politik dan membangun kembali persatuan bangsa. Semangat silaturahmi, gotong royong, dan saling memaafkan dapat memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan mengurangi dampak negatif polarisasi. Para elit politik perlu menunjukkan sikap rekonsiliatif, sementara masyarakat harus bijak dalam menggunakan media sosial.
Dengan demikian, peran aktif semua pihak, baik pemerintah, elit politik, maupun masyarakat, sangat penting dalam menciptakan suasana yang kondusif untuk rekonsiliasi. Mari kita bersama-sama menjadikan Lebaran 2025 sebagai momentum untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Semoga momentum Lebaran 2025 dapat menjadi titik awal bagi terciptanya Indonesia yang lebih harmonis, kuat, dan bersatu.