Menjaga Ekosistem Pantai Bali: Kisah Sukses Konservasi Mangrove dan Ekowisata
Masyarakat pesisir Bali sukses mengelola konservasi mangrove menjadi ekowisata dan menciptakan produk ekonomi kreatif berbahan dasar mangrove, meningkatkan perekonomian dan menjaga ekosistem pantai.

Apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana? Masyarakat pesisir Bali berjuang melawan abrasi pantai dengan merawat hutan mangrove, yang kini berkembang menjadi ekowisata dan sumber ekonomi baru. Di Bali, tepatnya di sekitar kawasan UPTD Tahura Ngurah Rai yang mengelola 1.373 hektare kawasan mangrove, upaya pelestarian ini berhasil meningkatkan kesejahteraan warga dan menjaga keindahan alam. Upaya ini dimulai bertahun-tahun lalu sebagai solusi alami untuk menanggulangi abrasi pantai yang mengancam pulau tersebut.
Kawasan mangrove yang terawat kini tak hanya berfungsi sebagai penahan abrasi, tetapi juga menjadi daya tarik wisata. Pengunjung dapat menyusuri keindahan hutan mangrove menggunakan perahu, menikmati keindahan alam, dan sekaligus mendukung perekonomian masyarakat lokal. Hal ini menunjukkan sinergi yang harmonis antara pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Keberhasilan ini tidak lepas dari peran aktif masyarakat pesisir yang sejak lama berprofesi sebagai nelayan. Mereka tidak hanya merawat mangrove, tetapi juga menuai manfaat ekonomi dari hasil pelestarian tersebut. Ketekunan dan kerja keras mereka telah mengubah hutan mangrove menjadi aset berharga bagi Bali, baik dari segi lingkungan maupun ekonomi. Model pengelolaan ini dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain di Indonesia yang memiliki potensi serupa.
Ekowisata Mangrove: Menikmati Keindahan Alam dan Mendukung Ekonomi Lokal
Ekowisata mangrove di Bali semakin diminati, terutama sejak pandemi COVID-19 mereda. Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Segara Guna Batu Lumbang, Wayan Kona Antara, menjelaskan bahwa sekitar 50 kepala keluarga (KK) telah merasakan dampak positif dari pengembangan ekowisata ini. Mereka mampu melewati masa sulit pasca-pandemi berkat pendapatan dari ekowisata dan produk olahan mangrove.
Pengunjung dapat menikmati perjalanan menyusuri hutan mangrove dengan perahu mesin atau kano, menyaksikan keindahan alam, dan mempelajari beragam jenis mangrove. Tarif sewa perahu bervariasi, mulai dari Rp350.000 hingga Rp600.000 untuk enam hingga sepuluh orang. Perjalanan ini memberikan pengalaman unik, merasakan ketenangan dan kesejukan di tengah rimbunnya pohon bakau yang menjulang tinggi.
Selain menikmati keindahan alam, pengunjung juga dapat melihat pemandangan lain seperti Jalan Tol Bali Mandara dan patung Garuda Wisnu Kencana. Namun, perlu diperhatikan bahwa waktu terbaik untuk berkunjung adalah saat air laut pasang, karena saat surut, akses ke beberapa area mungkin terbatas. Rata-rata, ekowisata ini dikunjungi oleh 2.400 orang setiap bulan, dengan 25 persennya merupakan wisatawan asing.
Pendapatan dari ekowisata mangrove mencapai lebih dari Rp300 juta per tahun. Keberhasilan ini membuktikan potensi besar ekowisata berbasis konservasi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan lingkungan.
Produk Kreatif Berbahan Mangrove: Cita Rasa Unik dari Alam Bali
Tidak hanya ekowisata, masyarakat pesisir juga mengembangkan produk ekonomi kreatif berbahan dasar mangrove. Para istri nelayan mengolah buah dan daun mangrove menjadi berbagai produk, seperti sirup, kripik, teh, dan kopi. Proses pengolahannya dilakukan secara tradisional, namun tetap memperhatikan kualitas dan keamanan produk.
Sirup mangrove, yang terbuat dari buah sonneratia caseolaris, kaya akan vitamin C dan memiliki rasa yang segar. Kripik mangrove, dari buah bruguiera gymnorrhiza, merupakan camilan gurih yang unik. Teh dan kopi mangrove juga menawarkan cita rasa yang khas dan menyehatkan. Semua produk ini telah diuji di laboratorium Universitas Dhyana Pura dan dinyatakan aman untuk dikonsumsi.
Meskipun proses pengolahannya cukup rumit dan membutuhkan waktu, para wanita ini tetap konsisten dalam memproduksi produk-produk tersebut. Pendapatan dari penjualan produk-produk ini memberikan mereka penghasilan tambahan, bahkan mampu menyisihkan uang kas bersama yang dalam setahun mencapai Rp37 juta.
Harga jual produk-produk ini cukup tinggi, karena ketersediaan bahan baku yang terbatas dan proses pengolahan yang rumit. Sirup dijual seharga Rp15.000 per 100 ml, kripik Rp15.000 per 20 gram, kopi Rp40.000 per 30 gram, dan teh Rp35.000 per 30 gram. Produk-produk ini dijual terutama kepada pengunjung ekowisata dan instansi yang memesan dalam jumlah besar.
Meskipun menghadapi tantangan seperti terbatasnya jumlah anggota pengolah dan menurunnya minat generasi muda, masyarakat pesisir tetap optimis dalam mengembangkan produk ekonomi kreatif berbahan dasar mangrove. Dengan inovasi dan pembinaan yang tepat, potensi ekonomi dari mangrove di Bali masih sangat besar.
Dari awalnya hanya sebagai upaya pelestarian lingkungan, konservasi mangrove di Bali telah berkembang menjadi model keberhasilan yang mengintegrasikan pelestarian lingkungan dengan peningkatan ekonomi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi dapat berjalan beriringan, menciptakan kesejahteraan dan keberlanjutan bagi generasi mendatang.