Pengamat Usulkan Batas Maksimal Koalisi untuk Cegah Capres Tunggal di Pemilu 2024
Pengamat politik usulkan perlunya batas maksimal koalisi untuk pencalonan presiden guna mencegah potensi calon tunggal di Pemilu 2024.

Jakarta – Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Prof. Burhanuddin Muhtadi, menekankan pentingnya pengaturan batas maksimal koalisi dalam revisi Undang-Undang Pemilu. Hal ini bertujuan untuk mencegah munculnya calon presiden tunggal, sebuah potensi yang mengkhawatirkan dalam konteks demokrasi. Usulan ini disampaikan dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat di Jakarta.
Burhanuddin Muhtadi menyoroti tren pencalonan pada pilkada dan pilpres yang menunjukkan potensi munculnya calon tunggal. Menurutnya, fenomena calon tunggal pada pilkada dapat menjadi norma baru yang tidak sehat bagi demokrasi. Pembatasan koalisi diharapkan dapat mencegah partai politik melakukan praktik kartel yang membatasi pilihan pemilih.
Diskusi yang digelar Partai Demokrat tersebut mengangkat isu revisi paket RUU Pemilu. Burhanuddin mengkhawatirkan bahwa tanpa adanya batasan yang jelas, partai politik dapat memborong pencalonan, sehingga masyarakat hanya memiliki pilihan yang terbatas. Situasi ini tentu tidak ideal dalam sebuah negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan memilih.
Urgensi Pembatasan Koalisi dalam Pemilu
Burhanuddin menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas pencalonan pada pilkada secara signifikan, ternyata tidak serta merta meningkatkan jumlah calon. Data menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pasangan calon justru menurun dari enam menjadi hanya dua koma sekian pasangan.
Menurutnya, partai politik seharusnya lebih proaktif dalam mencalonkan kader sendiri untuk berkompetisi dalam pemilihan. Masyarakat juga harus diberikan kesempatan untuk memilih dari berbagai calon sesuai dengan preferensi mereka. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa partai politik cenderung enggan mencalonkan kadernya sendiri.
“Sudah saatnya ada batas maksimum koalisi sehingga tidak terjadi kartel. Kartel adalah partai memborong sehingga pemilih hanya dipaksa memilih dari calon yang terbatas,” kata Burhanudin dalam diskusi tersebut.
Implikasi Presidential Threshold terhadap Calon Tunggal
Burhanuddin menambahkan bahwa meskipun MK telah memutuskan untuk meniadakan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden, potensi munculnya calon tunggal tetap ada. Pengalaman pilkada sebelumnya menunjukkan bahwa meskipun syarat pencalonan telah diturunkan, jumlah calon yang tersedia tetap terbatas.
Ia juga menyampaikan aspirasinya agar isu ini menjadi pembahasan serius di Komisi II DPR RI. Fenomena yang muncul pada Pemilu 2024 menjadi dasar kekhawatiran bahwa calon presiden yang muncul mungkin hanya satu kandidat. Hal ini tentu akan mereduksi esensi demokrasi itu sendiri.
“Kemarin ada berapa banyak calon tunggal (pilkada), meskipun MK sudah menurunkan barrier to entry (syarat pencalonan),” ujarnya.
Oleh karena itu, Burhanuddin menekankan perlunya regulasi yang jelas mengenai batas maksimal koalisi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa pemilih memiliki beragam pilihan calon dan partai politik tidak mendominasi proses pencalonan secara berlebihan.
Dengan adanya batasan koalisi, diharapkan partai politik akan lebih termotivasi untuk mengajukan kader-kader terbaiknya. Pada akhirnya, masyarakat akan diuntungkan dengan banyaknya pilihan berkualitas yang tersedia.
Dengan demikian, usulan pembatasan koalisi menjadi krusial dalam revisi UU Pemilu. Tujuannya adalah untuk menjaga kualitas demokrasi dan mencegah terjadinya calon tunggal yang dapat merugikan kepentingan pemilih.