73 Pahlawan Gugur: Mengenang Peristiwa Merah Putih Sangasanga, Kisah Heroik di Tanah Minyak Kalimantan Timur
Peristiwa Merah Putih Sangasanga adalah babak heroik perjuangan kemerdekaan di Kalimantan Timur. Simak kisah 73 pahlawan yang gugur demi sang saka Merah Putih.
Langit cerah di atas Sungai Mahakam menjadi saksi bisu perjalanan menuju Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Wilayah ini menyimpan sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu babak paling heroik adalah Peristiwa Merah Putih Sangasanga, sebuah perlawanan gigih terhadap penjajahan.
Peristiwa ini terjadi pada 27 hingga 30 Januari 1947, melibatkan rakyat dan pejuang lokal yang bersatu melawan upaya Belanda (NICA) untuk kembali menguasai tanah air. Mereka berjuang merebut kendali atas kota minyak strategis ini.
Meskipun singkat, pertempuran ini menorehkan tinta emas dalam sejarah bangsa, dengan pengorbanan besar yang ditunjukkan oleh para pahlawan. Kisah ini menjadi pengingat akan semangat patriotisme yang tak pernah padam.
Sejarah Sangasanga: Dari Desa Nelayan Menjadi Kota Minyak
Sangasanga, kini sebuah kecamatan di Kutai Kartanegara, memiliki akar sejarah yang jauh sebelum dikenal sebagai kota minyak. Kitab Salasilah Kerajaan Kutai Kertanegara abad ke-13 telah menyebut nama ini. Awalnya, Sangasanga adalah perkampungan nelayan tradisional, kaya akan hasil laut dan rempah-rempah.
Transformasi drastis terjadi pada 1888, saat insinyur Belanda JH Menten menemukan potensi sumber daya energi di perut buminya. Penemuan ini memicu eksplorasi oleh Nederlandsche Indische Industrie En Handle Maatschappij (NIIHM) pada 1897. Momen bersejarah terjadi pada 20 Februari 1897, ketika sumur Mathilde pertama kali menyemburkan minyak, menandai kelahiran kota industri ini.
Di bawah pengelolaan De Bataafsche Petroleum Maatshappij (BPM) sejak 1907, Sangasanga berkembang pesat. Fasilitas modern seperti perumahan Eropa, pasar, sekolah, dan rumah sakit dibangun. Dengan 613 sumur minyak beroperasi dan menghasilkan 70.000 ton minyak mentah per bulan, kota ini menarik pendatang dari berbagai latar belakang, termasuk Jawa, Bugis, Banjar, Tiongkok, dan India.
Api Perlawanan: Kronologi Peristiwa Merah Putih Sangasanga
Perjuangan rakyat Sangasanga berakar dari penderitaan panjang di bawah kekuasaan Belanda dan Jepang. Penindasan ini menyulut lahirnya perlawanan, awalnya melalui organisasi rahasia Ksatria pada 1943, yang kemudian bertransformasi menjadi Badan Penolong Perantau Djawa (BPPD) setelah proklamasi. BPPD berhasil mengibarkan Merah Putih untuk pertama kalinya pada 26 Oktober 1945.
Namun, ketenangan itu sirna saat Nederlandsch-Indische Civiele Administratie (NICA) mengambil alih kekuasaan. Mereka melarang semua kegiatan perjuangan dan menangkap para pemimpin BPPD pada 31 Desember 1945, termasuk Soedirin, Kastaman Hadiwidjoyo, dan Soekasmo. Penangkapan ini tidak memadamkan api perlawanan, justru memicu pembentukan badan perjuangan bawah tanah yang lebih radikal, Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI), dipimpin oleh R Soekasmo.
Puncak perlawanan terjadi pada 27 Januari 1947. Setelah serangkaian pertemuan rahasia, para pejuang BPRI melancarkan serangan mendadak ke tangsi militer Belanda. Dipimpin oleh Budiono, seorang mantan KNIL yang membelot, mereka berhasil merebut gudang senjata. Keesokan paginya, bendera Merah Putih berkibar di jantung kota minyak, dan Sangasanga berada di bawah kendali penuh pejuang Republik selama empat hari.
Belanda tidak tinggal diam dan mengerahkan kekuatan besar dari Balikpapan. Pertempuran sengit tak terhindarkan. Pada 30 Januari 1947, dalam pertempuran tidak seimbang, pasukan Belanda berhasil memukul mundur pejuang dan merebut kembali Sangasanga. Banyak pahlawan gugur, termasuk komandan tempur Budiono yang ditangkap dan dieksekusi mati pada 17 Maret 1947. Meskipun singkat, peristiwa ini memaksa Belanda angkat kaki pada awal 1950 setelah kedaulatan RI diakui, seperti dicatat Muhammad Sarip dan Nanda Puspita Sheilla dalam buku Historipedia Kalimantan Timur.
Saksi Bisu Sejarah: Penjara dan Tugu Pembantaian Sangasanga
Di tepi Sungai Sangasanga, Penjara Sangasanga berdiri sebagai saksi kelam penindasan kolonial. Dibangun dengan keringat pekerja paksa, penjara ini dirancang untuk mengamankan aset dan menekan penentang Belanda. Bangunan bergaya Europeeschen-Indische Stijl ini memiliki dinding kokoh, pintu baja, dan sistem ventilasi yang memastikan isolasi narapidana.
Fungsi penjara ini mencapai puncaknya saat Jepang menginvasi Kalimantan pada 1942. Setelah peristiwa Sangasanga Lautan Api, sekitar 200 pejuang dan warga sipil ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara ini. Namun, hujan deras yang luar biasa turun saat mereka akan dieksekusi, memungkinkan pelarian massal yang nekat, meskipun sebagian tertangkap kembali.
Kisah tragis lain terukir di Tugu Pembantaian Sangasanga, yang ironisnya dulu adalah tempat pembuangan sampah. Monumen ini menjadi saksi bisu pembantaian para pejuang. Salah satu kisah heroik datang dari komandan Badrun Munandar, yang disiksa dan dipaksa mengidentifikasi pasukannya, sebuah pilihan sulit untuk bertahan hidup.
Sri, seorang saksi hidup, mengingat detik-detik pamannya, Njono, direnggut paksa oleh serdadu Belanda. Njono, yang tengah berkumpul dengan keluarga, diikat dan dipaksa berjalan hampir empat kilometer menuju lokasi yang kini menjadi Tugu Pembantaian. Di sanalah Njono bersama pejuang lainnya menghadapi regu tembak, menjadi salah satu dari 73 pahlawan yang gugur dalam Peristiwa Merah Putih Sangasanga.