Fakta Alokasi: Revisi UU Sisdiknas Akan Perjelas Anggaran Pendidikan 20 Persen, Termasuk Nasib Pendidikan Kedinasan
Komisi X DPR RI tengah menggodok revisi UU Sisdiknas untuk mendefinisikan ulang alokasi Anggaran Pendidikan 20 Persen, memicu perdebatan tentang porsi pendidikan kedinasan.
Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah mematangkan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Revisi ini bertujuan untuk mendefinisikan ulang alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penegasan ini diharapkan dapat memastikan bahwa dana tersebut sepenuhnya dialokasikan untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, yang juga anggota MPR RI, menyatakan bahwa pembahasan ini sangat krusial mengingat UU Sisdiknas telah berusia lebih dari dua dekade. Diskusi mengenai hal ini telah berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Jumat (8/8). Inisiatif revisi ini muncul dari kebutuhan untuk memastikan efektivitas dan transparansi penggunaan dana pendidikan yang vital bagi masa depan bangsa.
Perdebatan utama berkisar pada pemisahan anggaran pendidikan kedinasan dari alokasi 20 persen tersebut. Jika tidak dipisahkan, dikhawatirkan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi tidak akan mendapatkan porsi maksimal. Oleh karena itu, revisi ini diharapkan dapat membawa kejelasan dan keadilan dalam distribusi anggaran pendidikan nasional.
Urgensi Definisi Ulang Distribusi Anggaran Pendidikan
Hetifah Sjaifudian menekankan pentingnya revisi UU Sisdiknas untuk memperjelas peruntukan anggaran pendidikan 20 persen. Menurutnya, saat ini alokasi dana tersebut tersebar di puluhan kementerian dan lembaga, tidak hanya di Kementerian Pendidikan. Kondisi ini menyebabkan kesulitan dalam memantau dan memastikan bahwa dana tersebut benar-benar tepat guna serta tepat sasaran.
Komisi X bertekad untuk memastikan distribusi anggaran pendidikan ini dilakukan secara transparan dan sesuai peruntukannya. Tujuannya adalah agar setiap rupiah yang dialokasikan dapat memberikan dampak maksimal bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Kejelasan definisi akan meminimalisir potensi penyalahgunaan atau inefisiensi dalam penggunaan dana.
Transparansi ini menjadi kunci untuk mewujudkan amanat konstitusi menuju Indonesia Emas 2045. Dengan alokasi yang jelas, pemerintah dapat lebih fokus dalam mengembangkan sektor pendidikan yang menjadi fondasi kemajuan bangsa. Revisi ini diharapkan menjadi langkah strategis dalam mencapai tujuan tersebut.
Polemik Alokasi Pendidikan Kedinasan
Anggota MPR RI, Melchias Markus Mekeng, secara tegas menyatakan bahwa alokasi anggaran pendidikan 20 persen seharusnya tidak diperuntukkan bagi pendidikan kedinasan. Dana tersebut semestinya difokuskan sepenuhnya untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Mekeng menyoroti ketidakadilan dalam perbandingan alokasi anggaran yang ada saat ini.
Sebagai contoh, anggaran pendidikan tahun 2025 yang mencapai Rp724 triliun menunjukkan disparitas mencolok. Pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang melayani 64 juta orang hanya mendapatkan alokasi sekitar Rp91,4 triliun. Sementara itu, pendidikan kedinasan yang hanya melayani 13 ribu orang justru memperoleh alokasi lebih besar, yakni Rp104 triliun.
- Anggaran Pendidikan Tahun 2025: Rp724 triliun
- Alokasi Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi: Rp91,4 triliun (untuk 64 juta orang)
- Alokasi Pendidikan Kedinasan: Rp104 triliun (untuk 13 ribu orang)
Ketua Dewan Setara Institute, Hendardi, turut menilai bahwa besaran anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan kedinasan tidak adil. Menurut undang-undang, pembiayaan pendidikan kedinasan tidak seharusnya diambil dari 20 persen anggaran pendidikan. Institusi seperti TNI dan Polri telah menunjukkan bahwa pembiayaan pendidikan kedinasan dapat dilakukan secara mandiri, tanpa mengambil porsi dari anggaran pendidikan umum.
Hendardi bahkan memandang bahwa pengambilan biaya pendidikan kedinasan dari 20 persen anggaran pendidikan dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Oleh karena itu, ia menilai wajar apabila ada masyarakat yang mengajukan gugatan terkait distribusi anggaran pendidikan yang dinilai tidak proporsional ini. Situasi ini menunjukkan perlunya peninjauan ulang yang komprehensif terhadap kebijakan alokasi dana pendidikan.