Fakta Mengejutkan: 3,7 Juta Hektare Sawit Ilegal! Penertiban Sawit dan Tambang Ilegal, Misi Ekologis Presiden Prabowo
Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk menertibkan perkebunan sawit dan tambang ilegal. Langkah ini penting untuk menyelamatkan lingkungan dan keuangan negara, sekaligus menjadi ujian konsistensi penegakan hukum.
Pidato kenegaraan perdana Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus 2024 menandai babak baru dalam kebijakan lingkungan Indonesia. Presiden secara tegas menyatakan tidak ada pihak yang boleh menghalangi upaya pemerintah menertibkan perkebunan sawit dan tambang ilegal. Pernyataan ini menjadi pesan politik kuat mengenai penguatan kedaulatan sumber daya alam.
Langkah penertiban ini bukan hanya bertujuan menutup kerugian negara yang mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Lebih dari itu, inisiatif ini krusial untuk melindungi hutan, ekosistem gambut, dan sungai dari kerusakan parah akibat aktivitas ilegal. Urgensi penertiban ini sangat tinggi demi keberlangsungan lingkungan.
Presiden mengungkap jutaan hektare perkebunan sawit beroperasi di luar hukum, bahkan di kawasan hutan lindung. Selain itu, ribuan tambang ilegal juga berpotensi merugikan negara hingga Rp300 triliun setiap tahun. Ini menunjukkan skala masalah yang dihadapi pemerintah.
Urgensi Penertiban Sawit dan Tambang Ilegal
Presiden Prabowo Subianto menyoroti adanya 3,7 juta hektare perkebunan sawit yang melanggar aturan, dengan 3,1 juta hektare di antaranya telah dikuasai kembali oleh negara. Sebagian besar lahan ilegal ini bahkan berada di kawasan hutan lindung dan konservasi. Situasi ini diperparah dengan adanya pemegang izin konsesi yang tidak melaporkan luas perkebunannya secara transparan.
Selain sawit, Presiden juga menyebutkan keberadaan 1.063 tambang ilegal di seluruh Indonesia yang berpotensi menyebabkan kerugian finansial hingga Rp300 triliun per tahun. Angka ini sangat mencolok jika dibandingkan dengan kebutuhan anggaran pendidikan dan kesehatan nasional. Penertiban ini menjadi krusial untuk mengembalikan potensi ekonomi negara.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, pemerintah menegaskan landasan hukum untuk merapikan sektor kehutanan. Payung hukum ini memberikan kekuatan bagi aparat untuk menindak tegas pelanggaran. Pesan politik Presiden juga menekankan bahwa tidak ada pihak yang kebal hukum, termasuk jenderal aktif, purnawirawan, pebisnis, hingga elite politik.
Dampak Lingkungan dan Bencana Hidrometeorologi
Kerugian akibat aktivitas ilegal tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. Contohnya, di Gunung Kuda Cirebon, Bukit Serelo Lahat, hingga sungai di Luwu Sulawesi Selatan, aktivitas pertambangan liar telah menimbulkan ancaman banjir bandang, longsor, hilangnya air bersih, dan degradasi lahan pertanian. Dampak ini sangat merugikan masyarakat.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 5.500 bencana terjadi sepanjang tahun 2024, mayoritas merupakan bencana hidrometeorologi basah seperti banjir dan longsor. Alih fungsi hutan dan pertambangan liar memiliki korelasi kuat dengan tingginya angka kerentanan ini. Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, menjadi contoh nyata dengan banjir setinggi tiga meter yang melanda 52 desa pada 2024.
Selain itu, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga menjadi masalah serius. Hingga 1 Agustus 2024, sekitar 8.955 hektare lahan telah terbakar, mayoritas merupakan ekosistem gambut yang sangat rentan. Di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, enam hektare terbakar di area sawit ilegal seluas 775 hektare. Fakta ini menegaskan bahwa penertiban sawit ilegal sangat penting untuk mencegah bencana ekologis.
Potensi Karbon dan Kredibilitas Pasar Internasional
Dari sisi ekologis, jutaan hektare sawit ilegal di kawasan hutan telah merusak cadangan karbon Indonesia. Hutan tropis mampu menyimpan 550–900 ton CO2e per hektare. Dengan perhitungan konservatif, penguasaan kembali 3,1 juta hektare lahan berpotensi menyimpan 1,7–2,8 miliar ton CO2e, yang bernilai ribuan triliun rupiah di pasar karbon global. Ini adalah potensi ekonomi besar.
Namun, kerugian akibat perambahan hutan selama puluhan tahun jauh lebih besar, meliputi hilangnya cadangan karbon, keanekaragaman hayati, dan fungsi hidrologis. Kredibilitas pasar karbon Indonesia juga dipertaruhkan. Tanpa penyelesaian menyeluruh terhadap masalah penertiban sawit dan tambang ilegal, potensi transaksi karbon bisa ditolak oleh pasar internasional karena integritas data emisi diragukan.
Pengalaman menunjukkan bahwa penegakan hukum seringkali melemah di hadapan pemilik modal besar. Jika siklus ini berulang, langkah penertiban akan kembali mandek, menghambat upaya Indonesia dalam mencapai target penurunan emisi. Oleh karena itu, konsistensi dalam penegakan hukum menjadi kunci utama.
Tantangan Implementasi dan Peran Masyarakat
Salah satu kompleksitas dalam penertiban sawit dan tambang ilegal adalah keterlibatan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sektor ini. Fenomena ini banyak ditemukan di Kabupaten Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Seruyan. Masyarakat setempat seringkali membentuk kemitraan sebagai kelompok petani plasma dengan konsesi sawit.
Pemerintah menyiapkan desain tata kelola khusus untuk kelompok masyarakat ini, mengarahkan mereka memanfaatkan sistem koperasi atau skema perhutanan sosial. Tujuannya adalah untuk menjaga asas keadilan dan membentuk kemandirian petani secara langsung, agar tidak tergantung pada perusahaan inti yang rentan manipulatif.
Presiden juga menginstruksikan Panglima TNI dan Kapolri serta pimpinan otoritas terkait lainnya untuk menerapkan strategi khusus dalam mengawasi aktivitas perkebunan masyarakat. Ini untuk memastikan bahwa tidak ada oknum yang menyusupi dan memanfaatkan skema ini. Keterlibatan masyarakat lokal penting dalam skema karbon global, dan partisipasi mereka diperlukan untuk memperoleh sertifikasi internasional.
Momentum untuk Perbaikan Tata Kelola Lingkungan
Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia dengan cadangan karbon yang sangat besar. Komitmen untuk menurunkan emisi sebesar 31,89 persen secara mandiri pada tahun 2030 hanya dapat tercapai jika sektor kehutanan dan energi benar-benar dibenahi. Oleh karena itu, penertiban sawit dan tambang ilegal bisa menjadi momentum penting untuk memperkuat tata kelola lingkungan.
Namun, risiko kegagalan tetap nyata jika kebijakan tidak konsisten. Lahan yang sudah dikuasai negara harus dijaga agar tidak kembali disalahgunakan. Tambang yang ditutup juga bisa beroperasi lagi jika penegakan hukum melemah. Bursa karbon nasional (IDXCarbon) menunjukkan pertumbuhan transaksi, namun harga karbon domestik yang rendah masih menjadi tantangan.
Tantangan terbesar ada pada implementasi pemulihan lahan, pelibatan masyarakat, dan pemenuhan standar internasional. Tanpa pengawasan ketat, kepastian regulasi, dan keberanian menindak pelanggar hukum tanpa pandang bulu, potensi ekonomi karbon ribuan triliun rupiah hanya akan tinggal di atas kertas. Konsistensi menjadi kunci utama keberhasilan misi ekologis ini.