Fakta Mengejutkan: Kesalahan Administrasi Tak Selalu Berujung Pidana, Kata Ombudsman!
Ombudsman menegaskan bahwa kesalahan administrasi oleh penyelenggara negara tidak selalu harus berujung pemidanaan. Mengapa demikian dan apa dampaknya bagi pelayanan publik?
Ombudsman Republik Indonesia menegaskan bahwa kesalahan administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan tidak serta-merta harus berujung pada pemidanaan. Hal ini disampaikan dalam sebuah diskusi kelompok terarah (FGD) yang digelar di Jakarta. Penegasan ini mengacu pada Undang-Undang Administrasi Publik yang berlaku.
Anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro, menyoroti maraknya kasus kerugian negara akibat kesalahan administrasi yang kerap diselesaikan melalui jalur pidana. Menurut Johanes, banyak dari kesalahan tersebut terjadi karena kelalaian semata. Tidak ada unsur kesengajaan untuk melakukan tindak pidana korupsi di dalamnya.
Ombudsman berupaya memperjelas batasan antara ranah administrasi dan pidana demi kepastian hukum. Tujuannya adalah untuk mencegah situasi ketidakpastian penegakan hukum. Hal ini penting agar kualitas pelayanan publik tidak terganggu oleh nuansa kriminalisasi.
Membedakan Kesalahan Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi
Dalam banyak kasus, kesalahan administrasi seringkali disamakan dengan tindak pidana korupsi, padahal keduanya memiliki perbedaan fundamental. Ombudsman melihat adanya kecenderungan penyelesaian kasus kerugian negara melalui mekanisme pemidanaan. Ini terjadi meskipun kesalahan tersebut murni bersifat administratif dan tanpa unsur niat jahat.
Johanes Widijantoro menekankan bahwa Undang-Undang Administrasi Publik telah mengatur batasan yang jelas. Kesalahan yang timbul dari kelalaian administratif seharusnya ditangani secara administratif pula. Pemidanaan hanya relevan jika terdapat unsur kesengajaan untuk korupsi.
FGD yang diselenggarakan membahas secara mendalam bagaimana menentukan suatu perbuatan. Apakah itu penyalahgunaan wewenang masuk domain administrasi pemerintah atau justru tindak pidana korupsi. Diskusi ini krusial untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum.
Dampak Kriminalisasi pada Pelayanan Publik
Nuansa kriminalisasi terhadap kesalahan administrasi memiliki dampak serius terhadap kualitas pelayanan publik. Aparatur sipil negara (ASN) dapat menjadi ragu dalam mengambil keputusan. Mereka khawatir setiap kesalahan kecil akan berujung pada jeratan hukum pidana.
Ombudsman menyatakan bahwa kondisi ini dapat menghambat inovasi dan efisiensi dalam birokrasi. Aparat cenderung bermain aman, yang pada akhirnya merugikan masyarakat. Kualitas layanan yang diberikan kepada publik bisa menurun drastis akibat ketakutan ini.
Oleh karena itu, Ombudsman berharap dapat memperoleh perspektif baru dari berbagai pihak. Tujuannya adalah untuk memastikan konsistensi penegakan hukum. Hal ini harus selalu mengacu pada regulasi yang berlaku, bukan pada interpretasi yang bias.
Kolaborasi dan Harapan Ombudsman
FGD ini juga membahas pola koordinasi antara aparat penegak hukum (APH) dan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP). Koordinasi ini penting untuk memastikan penanganan kesalahan administrasi sesuai UU Administrasi Pemerintahan dan UU Tindak Pidana Korupsi. Tujuannya adalah agar tidak terjadi tumpang tindih penanganan.
Johanes Widijantoro mengungkapkan bahwa Ombudsman akan terus mencari masukan dari berbagai pihak. Setelah mendengarkan dari penyelenggara pelayanan publik, mereka juga akan mendengarkan perspektif dari penegak hukum. Hal ini untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif.
Kehadiran berbagai perwakilan kementerian dalam FGD menunjukkan komitmen untuk mencari solusi. Solusi ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif bagi ASN. Dengan demikian, mereka dapat fokus pada peningkatan kualitas pelayanan publik tanpa bayang-bayang kriminalisasi yang tidak proporsional.