Fakta Mengejutkan: MUI Haramkan Sound Horeg, DPRD Tulungagung Dorong Regulasi Tegas Demi Ketertiban Umum
DPRD Tulungagung mendesak regulasi ketat untuk kegiatan Sound Horeg. Meski dorong ekonomi, MUI haramkan karena dampak negatif. Bagaimana regulasi ini akan menjaga ketertiban?
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, baru-baru ini menyuarakan desakan kuat kepada pemerintah daerah. Mereka mendorong pembentukan regulasi yang lebih tegas untuk mengendalikan kegiatan "sound horeg" di wilayah tersebut. Langkah ini diambil untuk menjaga ketertiban umum serta meredakan polemik yang berkembang di tengah masyarakat.
Dorongan regulasi ini muncul setelah adanya berbagai sorotan terhadap dampak negatif dari kegiatan hiburan tersebut. Meskipun diakui sebagai bentuk ekspresi seni dan pendorong ekonomi lokal, "sound horeg" juga menimbulkan gangguan. Kekhawatiran utama meliputi kebisingan berlebihan, potensi perilaku tidak pantas, hingga pelanggaran norma sosial.
Wakil Ketua DPRD Tulungagung, Abdullah Ali Munib, menjelaskan bahwa regulasi diperlukan untuk menyeimbangkan antara hiburan dan kenyamanan warga. Ia menyoroti pentingnya pengaturan volume suara, terutama bagi kelompok rentan seperti bayi dan lansia. Munib menegaskan bahwa masyarakat tidak seharusnya mengalah demi kegiatan ini, melainkan kegiatanlah yang harus diatur.
Dilema Antara Hiburan dan Ketertiban
Kegiatan sound horeg, meski populer, memicu perdebatan sengit di Tulungagung. DPRD mengakui potensi ekonomi dari UMKM yang terlibat, namun juga menyoroti sisi gelapnya. Gangguan kebisingan dan potensi pelanggaran norma menjadi perhatian utama.
Munib menekankan bahwa di balik euforia, ada dampak sosial yang tidak bisa diabaikan. Ia menyebutkan gangguan kebisingan yang parah, potensi penyalahgunaan alkohol, dan penampilan penari yang kurang pantas. Aspek-aspek ini telah menimbulkan keresahan di banyak kalangan masyarakat.
Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan kegiatan sound horeg. Fatwa ini didasarkan pada penilaian bahwa aktivitas tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai keagamaan dan norma sosial yang berlaku. Hal ini menambah urgensi bagi pemerintah daerah untuk bertindak.
Urgensi Regulasi dan Perlindungan Warga
DPRD Tulungagung tidak secara mutlak melarang sound horeg, asalkan dilakukan secara bijak dan pada momen yang tepat. Contohnya saat perayaan hari besar nasional atau keagamaan. Namun, batasan volume suara menjadi krusial untuk kenyamanan warga.
Munib secara tegas menyatakan bahwa bayi dan lansia tidak seharusnya terpaksa mengungsi karena kebisingan ekstrem. Ia menekankan perlunya pengaturan teknis pelaksanaan kegiatan, bukan justru membiarkan masyarakat yang beradaptasi. Prinsip ini menjadi dasar utama dorongan regulasi.
Kehadiran Surat Edaran (SE) Bupati Tulungagung tentang sound horeg dianggap sebagai langkah awal yang positif. DPRD membuka peluang untuk menerbitkan regulasi formal yang lebih mengikat, seperti Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Bupati (Perbup). Ini menunjukkan keseriusan dalam menata kegiatan hiburan.
Kepatuhan Penyelenggara dan Harmoni Sosial
DPRD juga mendesak para penyelenggara sound horeg untuk mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah daerah. Kepatuhan ini sangat penting, terutama menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Perayaan nasional harus berjalan lancar tanpa gangguan.
Munib menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak anti terhadap kegiatan ini. Namun, para pelaku sound horeg juga harus menunjukkan rasa hormat kepada warga sekitar. Harmoni sosial menjadi prioritas utama dalam setiap penyelenggaraan acara.
Selama semua pihak mematuhi aturan dan menghormati hak-hak warga lain, kegiatan sound horeg dapat terus digelar. Tujuannya adalah agar hiburan ini tidak lagi menimbulkan persoalan atau konflik di masyarakat. Keseimbangan antara hiburan dan ketertiban adalah kunci.