Fakta Praperadilan Korupsi PJU Cianjur: Tersangka AM Ajukan Gugatan, Kejari Hormati Proses Hukum
Kasus dugaan korupsi PJU Cianjur semakin memanas. Tersangka AM mengajukan praperadilan, sementara Kejari Cianjur siap hadapi gugatan. Apa saja poin gugatan mereka?
Cianjur, Jawa Barat – Kasus dugaan korupsi Penerangan Jalan Umum (PJU) pada Dinas Perhubungan Kabupaten Cianjur tahun anggaran 2023 memasuki babak baru. Salah satu tersangka, AM, yang merupakan pihak penyedia proyek, secara resmi mengajukan permohonan praperadilan. Langkah hukum ini menjadi sorotan publik mengingat kompleksitas kasus yang melibatkan anggaran puluhan miliar rupiah.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Cianjur membenarkan pengajuan gugatan tersebut dan menyatakan kesiapannya menghadapi proses hukum. Kepala Seksi Intelijen Kejari Cianjur, Angga Insana Husri, menegaskan bahwa pengajuan praperadilan adalah hak konstitusional setiap warga negara dalam mencari keadilan. Gugatan praperadilan AM dijadwalkan akan digelar pada 14 Agustus mendatang di Pengadilan Negeri Cianjur.
Selain AM, tersangka lain dalam kasus ini, Dadan Ginanjar, mantan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Cianjur, juga telah mengajukan praperadilan. Sidang praperadilan Dadan Ginanjar bahkan sudah mulai digelar di Pengadilan Negeri Cianjur. Proses praperadilan ini diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai status tersangka dan prosedur hukum yang telah dijalankan.
Hak Tersangka dan Prosedur Praperadilan
Praperadilan merupakan mekanisme hukum yang bertujuan untuk menguji keabsahan penetapan status tersangka, prosedur penangkapan, penahanan, atau penghentian penyidikan. Angga Insana Husri menjelaskan bahwa melalui praperadilan, tersangka dapat melakukan pembelaan sesuai koridor hukum yang berlaku. Hal ini berbeda dengan upaya membentuk opini publik yang seringkali dilakukan di luar jalur hukum.
Kejaksaan Negeri Cianjur menyatakan komitmennya untuk menghormati setiap putusan yang diberikan oleh hakim dalam persidangan praperadilan. Apapun hasil keputusan hakim, Kejari Cianjur akan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Jika gugatan praperadilan ditolak, tersangka masih memiliki kesempatan untuk melakukan pembelaan dalam persidangan pokok perkara setelah berkas dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Proses praperadilan ini menjadi penting untuk memastikan bahwa setiap tahapan dalam penegakan hukum telah sesuai dengan prosedur. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam penanganan kasus korupsi, termasuk dalam tahapan praperadilan ini.
Kronologi Kasus dan Pihak Terlibat
Kasus dugaan korupsi PJU Cianjur yang bernilai Rp40 miliar ini telah menyeret beberapa nama sebagai tersangka. Selain AM sebagai pihak penyedia, Kejari Cianjur sebelumnya telah menetapkan Dadan Ginanjar (DG) yang menjabat sebagai mantan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Cianjur, dan MIH selaku konsultan proyek, sebagai tersangka.
Penetapan tersangka ini dilakukan setelah serangkaian penyelidikan dan penyidikan oleh pihak Kejaksaan. Proyek PJU ini menjadi sorotan karena adanya indikasi penyimpangan yang merugikan keuangan negara. Nilai proyek yang fantastis ini menunjukkan skala potensi kerugian yang besar jika terbukti adanya tindak pidana korupsi.
Keterlibatan berbagai pihak, mulai dari pejabat dinas, penyedia proyek, hingga konsultan, mengindikasikan adanya jaringan yang terstruktur dalam dugaan praktik korupsi ini. Penanganan kasus ini diharapkan dapat mengungkap seluruh fakta dan membawa para pelaku ke meja hijau.
Poin Keberatan Tersangka dan Peran BPK
Tim kuasa hukum Dadan Ginanjar, salah satu tersangka, mengungkapkan beberapa keberatan terkait penetapan kliennya sebagai tersangka. Mereka berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap Dadan dilakukan tanpa tahapan yang jelas. Selain itu, mereka juga menyoroti bahwa saat pemeriksaan sebagai tersangka, Dadan seharusnya didampingi oleh penasihat hukum, sebuah hak yang dijamin undang-undang.
Poin keberatan krusial lainnya yang diajukan oleh tim kuasa hukum adalah mengenai penghitungan nilai kerugian negara. Menurut mereka, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pihak yang berwenang menentukan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara itu, pihak termohon dalam praperadilan hanya menyampaikan Undang-Undang BPK tanpa menyertakan hasil audit kerugian negara dari BPK secara langsung.
Perdebatan mengenai kewenangan penghitungan kerugian negara ini seringkali menjadi inti dalam kasus korupsi. Kehadiran audit BPK menjadi krusial sebagai dasar penetapan kerugian negara yang sah dan akuntabel. Proses praperadilan ini akan menjadi ajang pembuktian argumen dari kedua belah pihak terkait prosedur dan dasar penetapan tersangka serta kerugian negara.