Fakta Unik Ambang Batas Pendengaran: Regulasi Sound Horeg di Jatim Masih Dibahas, Cakup Beragam Aspek
Pemerintah Provinsi Jatim terus membahas regulasi Sound Horeg yang mencakup beragam aspek, termasuk dampak ekonomi dan fatwa MUI. Bagaimana nasibnya?
Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) saat ini tengah intensif membahas regulasi terkait sistem audio berdaya tinggi, atau yang dikenal dengan istilah sound horeg. Pembahasan ini mencakup beragam aspek komprehensif guna memastikan kebijakan yang dihasilkan bersifat holistik dan tidak hanya melihat dari satu sisi.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jawa Timur, Adhy Karyono, menyatakan bahwa Ibu Gubernur sedang mempertimbangkan serta berdiskusi mengenai kerangka regulasi ini. Pernyataan tersebut disampaikan di Kota Malang pada Kamis, 24 Juli, menegaskan bahwa proses ini memerlukan kajian mendalam.
Regulasi yang tengah disusun ini bertujuan untuk mengatur, bukan melarang, penggunaan sound horeg. Hal ini dikarenakan Pemprov Jatim tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengeluarkan surat edaran pelarangan, sehingga fokusnya adalah pada pengaturan yang mempertimbangkan ekosistem ekonomi masyarakat dan ketertiban umum.
Pendekatan Holistik dalam Regulasi Sound Horeg
Adhy Karyono menjelaskan bahwa regulasi yang disiapkan harus bersifat holistik, artinya tidak hanya berfokus pada satu aspek saja. Pendekatan ini mencakup pertimbangan terhadap sikap dan pandangan dari setiap wali kota serta bupati di wilayah Jawa Timur. Tujuannya adalah menciptakan aturan yang dapat diterapkan secara efektif di berbagai daerah dengan kondisi yang berbeda.
Pemerintah Provinsi Jatim menyadari pentingnya menyeimbangkan antara kepentingan masyarakat dan pelaku usaha. Oleh karena itu, pembahasan ini juga mengkaji bagaimana kegiatan sound horeg dapat mendukung ekosistem ekonomi lokal tanpa menimbulkan dampak negatif. Ini menunjukkan komitmen Pemprov untuk mendukung kegiatan ekonomi yang produktif.
Meskipun demikian, Adhy menegaskan bahwa kegiatan sound horeg yang menyebabkan kerusakan atau mengandung unsur pertunjukan yang tidak sesuai norma tidak akan diperbolehkan. Prinsip ini menjadi landasan utama dalam penyusunan regulasi, memastikan bahwa hiburan tidak mengorbankan ketertiban dan nilai-nilai sosial.
Respons Terhadap Fatwa dan Imbauan Terkait Sound Horeg
Pembahasan regulasi sound horeg ini juga tidak lepas dari respons terhadap berbagai pandangan dan imbauan dari pihak lain. Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa haram terkait sound horeg. Fatwa ini berlaku apabila penggunaannya berlebihan, menyalahi norma, syariat, serta mengganggu ketertiban dan menimbulkan kemudaratan.
MUI Jatim juga menyoroti aspek kesehatan, di mana ambang batas aman pendengaran manusia direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 85 desibel (dB) selama delapan jam. Penggunaan sound horeg yang melampaui batas ini dapat membahayakan pendengaran. Namun, MUI juga mengakui potensi positif teknologi audio selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.
Selain fatwa MUI, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur juga telah mengeluarkan imbauan larangan kegiatan sound horeg. Imbauan ini merupakan respons terhadap keluhan masyarakat terkait kebisingan yang berlebihan dan menimbulkan keresahan. Kedua pandangan ini, baik dari aspek keagamaan maupun ketertiban umum, menjadi masukan penting dalam perumusan regulasi yang adil dan komprehensif. Pemprov Jatim berkomitmen untuk menciptakan aturan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan sambil tetap menjaga kenyamanan dan keamanan masyarakat.