Fakta Unik: Pulau Belitung Siap Jadi 'Carbon Free Island', Saingan Berat Pulau Jeju Korea Selatan?
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Bakamla RI serius membahas konsep 'Pulau Belitung Carbon Free Island' yang bertujuan menekan emisi karbon hingga mendekati nol, menjadikannya pionir di Indonesia.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) bersama Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI tengah mengkaji secara mendalam konsep ambisius untuk mewujudkan Pulau Belitung sebagai 'carbon free island'. Inisiatif ini berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca, khususnya karbon dioksida (CO2), yang dihasilkan dari berbagai aktivitas di pulau tersebut. Tujuannya adalah menciptakan wilayah dengan emisi karbon yang sangat rendah atau mendekati nol, demi keberlanjutan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Wakil Gubernur Babel, Hellyana, menyatakan bahwa sinergi antara Pemprov dan Bakamla sangat krusial dalam mendukung rencana ini. Diskusi ini juga melibatkan Yayasan Tanam Bakau di Belitung, yang sebelumnya telah mendapat dukungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). KKP bahkan menyebutkan bahwa dalam perumusan konsep carbon free island ini, Belitung memiliki potensi besar untuk bersaing dengan Pulau Jeju di Korea Selatan, yang juga menargetkan netral karbon.
Konsep 'carbon free island' bukan sekadar wacana, melainkan sebuah visi jangka panjang untuk menjadikan Belitung sebagai model pembangunan berkelanjutan. Dengan dukungan berbagai pihak, termasuk Bakamla yang memiliki peran dalam konservasi sumber daya alam, diharapkan Belitung dapat menjadi contoh nyata pulau yang berhasil mengelola emisinya. Langkah ini tidak hanya akan memberikan dampak positif bagi lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat lokal.
Pulau Belitung: Potensi Unggul Menuju Bebas Karbon
Pulau Belitung memiliki keunggulan komparatif dalam upaya menuju carbon free island jika dibandingkan dengan beberapa wilayah lain, termasuk Pulau Jeju di Korea Selatan. Menurut perhitungan awal, emisi gas rumah kaca di Belitung relatif lebih rendah, sementara Jeju masih menghadapi kendala terkait limbah. Meskipun demikian, Belitung juga menghadapi tantangan, seperti keberadaan 449 lubang bekas tambang timah yang berpotensi terus bertambah, serta lahan kritis yang membutuhkan reklamasi intensif dengan penanaman pohon.
Upaya untuk mengurangi emisi karbon ini memerlukan tanggung jawab kolektif dari berbagai pihak. Mereka yang memiliki kapasitas untuk memberikan sumbangsih diharapkan dapat menciptakan bisnis karbon yang berkelanjutan di masa depan. Konsep ini tidak hanya berfokus pada mitigasi emisi, tetapi juga pada pemulihan ekosistem, khususnya penindakan tambang liar yang merusak hutan bakau. Hutan bakau sendiri dikenal sebagai paru-paru dunia dan sangat penting bagi ketersediaan oksigen, sejalan dengan status Belitung sebagai geopark yang menjual keindahan alam dan kekayaan oksigennya.
Yayasan Tanam Bakau di Belitung menjadi salah satu pilar penting dalam inisiatif ini. Peran mereka dalam rehabilitasi lahan dan penanaman kembali vegetasi, khususnya bakau, akan sangat vital. Dukungan dari KKP juga memperkuat posisi Belitung dalam peta global upaya pengurangan emisi. Dengan pengelolaan yang tepat, Belitung dapat membuktikan bahwa pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan dapat berjalan seiring, menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Bisnis Karbon dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
Kepala Stasiun Bakamla RI Wilayah Babel, Yuli Eko Prihartanto, menegaskan bahwa peran Bakamla tidak hanya terbatas pada patroli keamanan dan keselamatan laut, tetapi juga mencakup perlindungan konservasi sumber daya alam hayati. Konsentrasi pada konservasi daerah pesisir melibatkan penegakan hukum serta pembinaan kegiatan penertiban di wilayah tersebut. Hal ini menunjukkan komitmen Bakamla dalam mendukung visi carbon free island melalui pendekatan holistik yang mencakup aspek keamanan dan lingkungan.
Potensi bisnis karbon di Indonesia, khususnya di Belitung, dinilai luar biasa. Di Singapura, misalnya, emisi karbon perusahaan dihitung per jam, per hari, bahkan per tahun, dengan regulasi yang mewajibkan perusahaan penghasil efek karbon untuk membeli karbon dari negara lain. Model ini dapat diterapkan di Belitung, di mana komunitas bakau yang diinisiasi pemerintah dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat. Warga tidak perlu lagi bergantung sepenuhnya pada profesi nelayan, melainkan dapat merawat bakau dan mendapatkan gaji dari perusahaan yang membeli karbon.
Konsep ini membuka peluang ekonomi yang signifikan, di mana masyarakat dapat menjual jasa perawatan bakau dan secara tidak langsung menjual karbon yang diserap oleh ekosistem tersebut. Bakamla terus mendukung pemerintah daerah agar kesejahteraan masyarakat di Kepulauan Babel meningkat, khususnya masyarakat pesisir. Dengan menjual karbon, mereka dapat memperoleh penghasilan yang stabil, mengurangi ketergantungan pada sumber daya laut yang terbatas, dan secara bersamaan berkontribusi pada upaya mitigasi perubahan iklim global.