Fakta Unik Sound Horeg: Anggota DPR Tegaskan Butuh Pengaturan, Bukan Pelarangan
Fenomena Sound Horeg di Indonesia menuai perhatian DPR. Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menekankan pentingnya pengaturan komprehensif, bukan pelarangan.
Fenomena penggunaan sound horeg, atau sistem pengeras suara berukuran besar yang kian marak di berbagai daerah, menjadi sorotan utama. Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menegaskan bahwa sistem ini memerlukan pengaturan yang jelas, bukan sekadar pelarangan total.
Khozin menyoroti pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek dalam merumuskan pengaturan tersebut. Aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis harus menjadi landasan utama agar regulasi yang dibuat komprehensif dan berimbang.
Pemerintah daerah, seperti gubernur, bupati, dan walikota, diharapkan dapat menerbitkan peraturan atau panduan. Hal ini bisa berupa peraturan kepala daerah, surat edaran, atau bahkan perubahan terhadap peraturan daerah (perda) yang sudah ada, khususnya terkait ketertiban umum.
Aspek Pertimbangan Pengaturan Sound Horeg
Pengaturan sound horeg dimaksudkan untuk memotret dampak fenomena ini secara menyeluruh. Di satu sisi, sound horeg memiliki kontribusi signifikan terhadap aspek ekonomi, khususnya bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta sektor hiburan rakyat. Banyak pihak yang menggantungkan mata pencarian dari kegiatan ini.
Namun, di sisi lain, penggunaan sound horeg juga kerap menimbulkan berbagai persoalan di tengah masyarakat. Gangguan ketertiban, kebisingan berlebihan, hingga potensi dampak negatif terhadap kesehatan menjadi isu yang perlu ditangani. Pada titik inilah relevansi pengaturan menjadi sangat krusial.
Pemerintah daerah dituntut untuk bersikap arif dalam merespons aspirasi yang muncul dari berbagai pihak. Tujuannya adalah meminimalisasi dampak buruk (mafsadat) dan mengoptimalkan manfaat yang dapat diperoleh dari fenomena sound horeg ini.
Detail Pengaturan dan Rujukan Fatwa MUI
Isi pengaturan sound horeg dapat mencakup beberapa poin penting. Salah satunya adalah penetapan radius penyelenggaraan kegiatan dari permukiman warga, misalnya dengan mewajibkan penggunaan di tempat pertunjukan khusus atau area terbuka yang jauh dari pemukiman padat penduduk. Prosedur perizinan yang jelas juga perlu ditetapkan untuk setiap kegiatan.
Selain itu, pengaturan harus mempertimbangkan batasan besaran desibel suara yang diizinkan, dengan mengacu pada pertimbangan kesehatan telinga. Penting pula untuk memastikan bahwa kegiatan yang melibatkan sound horeg tidak terdapat unsur pornografi atau pornoaksi yang melanggar norma dan etika.
Dalam merumuskan pengaturan ini, fatwa MUI Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 dapat menjadi rujukan penting. Fatwa tersebut telah ditinjau dari berbagai perspektif, bahkan melibatkan ahli kedokteran spesialis THT. Oleh karena itu, fatwa MUI ini tidak perlu diperdebatkan dan dapat menjadi pedoman yang kuat bagi pemerintah daerah.
Respons Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menunjukkan respons proaktif terhadap fenomena sound horeg yang marak di sejumlah daerahnya. Pada Jumat (25/7), Pemprov Jatim menyatakan sedang menyiapkan regulasi dan membentuk tim khusus untuk menangani isu ini secara komprehensif.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menjelaskan bahwa pihaknya telah mendengarkan paparan dari berbagai sudut pandang, melibatkan MUI Jatim, Polda Jatim, dan perangkat daerah lainnya. Pendekatan ini dilakukan untuk mencari jalan tengah dan memberikan solusi terbaik bagi semua pihak yang terlibat.
Dalam menyikapi sound horeg, Pemprov Jatim meninjau dari berbagai aspek, termasuk agama, lingkungan, budaya, hukum, dan kesehatan. Fenomena sound horeg banyak ditemukan di Tulungagung, Banyuwangi, Pasuruan, Jember, dan Malang. Oleh karena itu, regulasi seperti peraturan gubernur atau surat edaran bersama dianggap perlu segera diterbitkan dengan konsideran yang lengkap dan matang.