Fenomena Mengkhawatirkan: Komisi VII DPR Minta Pemerintah Tindak Tegas Dominasi Bisnis WNA di Bali
Komisi VII DPR RI mendesak pemerintah menindak tegas dominasi bisnis WNA di Bali yang merugikan UMKM lokal. Apa saja praktik ilegal yang terjadi?
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Chusnunia Chalim, mendesak pemerintah untuk segera menindak tegas fenomena dominasi bisnis yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA) di Bali. Situasi ini dinilai telah menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi warga lokal dan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor pariwisata. Aspirasi dan keluhan terkait maraknya praktik ini telah banyak diterima oleh pihaknya, menunjukkan urgensi penanganan masalah tersebut.
Fenomena dominasi ini tidak hanya menjadi perbincangan di kalangan masyarakat, tetapi juga dapat disaksikan secara luas melalui berbagai platform media sosial. Chusnunia Chalim menyoroti bahwa meskipun jumlah turis asing di Bali sangat banyak, tingkat okupansi hotel dan penginapan berizin justru tidak sebanding. Hal ini mengindikasikan adanya aktivitas bisnis penginapan ilegal yang dijalankan oleh wisatawan asing, termasuk kos-kosan atau sejenisnya yang beroperasi tanpa izin resmi.
Praktik bisnis ilegal oleh WNA ini disinyalir semakin meluas, memanfaatkan celah dalam sistem Online Single Submission (OSS) yang seharusnya mempermudah investasi. Namun, kemudahan ini justru dimanfaatkan investor asing untuk menembus sektor-sektor strategis, bahkan hingga level mikro, seperti jasa penyewaan mobil hingga homestay. Kondisi ini secara langsung menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat dan berpotensi memperbesar risiko ketimpangan ekonomi di Pulau Dewata.
Modus Operandi dan Dampak Dominasi Bisnis WNA
Dominasi bisnis WNA di Bali terwujud dalam berbagai bentuk, mulai dari penginapan yang tidak berizin, kos-kosan, hingga jasa penyewaan mobil dan homestay yang dijalankan secara ilegal. Praktik-praktik ini seringkali beroperasi di luar regulasi yang ada, menghindari pajak dan kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha lokal. Hal ini menciptakan ketidakadilan dan merugikan pendapatan daerah serta negara.
Pemanfaatan celah dalam sistem OSS menjadi kunci bagi WNA untuk masuk ke sektor-sektor yang seharusnya menjadi ranah UMKM lokal. Sistem yang dirancang untuk mempercepat perizinan investasi ini, dalam praktiknya, disalahgunakan sehingga memungkinkan investor asing untuk menguasai pasar-pasar kecil. Akibatnya, pelaku usaha lokal kesulitan bersaing dan ruang gerak mereka dalam sektor pariwisata semakin terbatas.
Dampak paling nyata dari fenomena ini adalah terjadinya persaingan tidak sehat yang merugikan pelaku usaha lokal. Ketimpangan ekonomi semakin melebar karena keuntungan bisnis banyak mengalir ke tangan WNA, sementara masyarakat Bali justru terpinggirkan. Chusnunia Chalim menegaskan bahwa jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus, warga lokal akan semakin terpojok dan Bali bisa berubah menjadi pasar bebas yang merugikan penduduk aslinya.
Penyalahgunaan Visa dan Pekerja Ilegal Asing
Selain dominasi bisnis, fenomena lain yang mengkhawatirkan adalah banyaknya turis asing yang bekerja secara ilegal di Bali. Mereka awalnya datang dengan visa liburan atau kunjungan, namun kemudian menyalahgunakan izin tinggal tersebut untuk membuka usaha atau bekerja. Praktik ini berdampak langsung pada ketersediaan lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal, menambah kompleksitas masalah ekonomi di Bali.
Contoh pekerjaan ilegal yang dilakukan WNA mencakup profesi seperti fotografer, pemandu wisata, hingga pelatih surfing. Profesi-profesi ini seharusnya diisi oleh tenaga kerja lokal atau WNA yang memiliki izin kerja resmi. Penyalahgunaan visa kunjungan untuk tujuan bekerja atau berbisnis jelas merupakan pelanggaran hukum imigrasi yang harus ditindak tegas oleh pemerintah.
Chusnunia Chalim menekankan bahwa pemerintah tidak boleh berdiam diri melihat kondisi ini. Kepemilikan usaha oleh WNA di sektor pariwisata Indonesia telah diatur secara ketat melalui berbagai regulasi penanaman modal. Oleh karena itu, penegakan hukum dan pengawasan yang lebih ketat mutlak diperlukan untuk memastikan bahwa semua pihak mematuhi aturan yang berlaku dan melindungi kepentingan masyarakat lokal.
Langkah Penanganan dan Kolaborasi Pemerintah
Untuk mengatasi masalah dominasi bisnis WNA dan praktik ilegal di Bali, Komisi VII DPR RI meminta pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk berkolaborasi secara erat. Kolaborasi ini diharapkan dapat menghasilkan langkah-langkah konkret dalam menghambat laju overtourism dan melindungi sektor UMKM lokal. Salah satu langkah yang diusulkan adalah memperketat izin investasi pada level usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bagi WNA.
Pengetatan izin ini bukan berarti menghambat investasi asing secara keseluruhan, melainkan memastikan bahwa investasi tersebut tidak merugikan pelaku usaha lokal dan sesuai dengan peruntukannya. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem OSS dan memastikan tidak ada celah yang dapat disalahgunakan untuk praktik ilegal. Pengawasan yang lebih ketat juga harus diterapkan pada setiap WNA yang masuk ke Indonesia, terutama terkait tujuan kunjungan mereka.
Melalui pengawasan bersama dan penegakan hukum yang konsisten, diharapkan pengembangan dan pemberdayaan UMKM dapat diprioritaskan bagi pengusaha lokal. Ini akan membantu menciptakan ekosistem pariwisata yang lebih adil dan berkelanjutan di Bali, di mana kesejahteraan masyarakat setempat menjadi prioritas utama. Pemerintah harus memastikan bahwa Bali tetap menjadi destinasi yang ramah bagi wisatawan, namun juga melindungi hak dan mata pencarian warganya.