Ilmu Komunikasi: Benteng Kritis di Era Algoritma dan Media Sosial
Di tengah dominasi algoritma dan media sosial, Ilmu Komunikasi berperan penting dalam membekali mahasiswa dengan kemampuan berpikir kritis dan menyaring informasi.
Jakarta, 03 Mei 2025 (ANTARA) - Tantangan besar dihadapi pendidikan di era digital: bagaimana membekali mahasiswa dengan kemampuan memaknai informasi secara kritis di tengah dominasi algoritma dan media sosial? Data We Are Social dan Meltwater Februari 2025 menunjukkan 74,6 persen dari 212 juta warga Indonesia terhubung internet, mayoritas untuk interaksi sosial dan mencari informasi, bukan pembelajaran mendalam. Fenomena ini menghadirkan pertanyaan besar: bagaimana pendidikan dapat beradaptasi dan mencetak generasi yang mampu berpikir kritis di tengah arus informasi yang deras dan terkadang menyesatkan?
Dari perspektif Ilmu Komunikasi, praktik bermedia masyarakat mencerminkan pergeseran cara membentuk makna dan identitas. Komunikasi pendidikan tak lagi satu arah; ia terbuka, cair, dan berkelindan dengan algoritma, budaya populer, dan sistem simbolik dinamis. Sumber belajar pun tak lagi tunggal. Media sosial seperti TikTok, YouTube, dan Instagram menjadi ruang belajar alternatif, walau tak selalu edukatif. Konten viral belum tentu membangun kesadaran, dan informasi mudah dicerna belum tentu melatih daya pikir kritis. Inilah jurang antara pembelajaran formal dan realitas mahasiswa.
Mahasiswa kini bukan hanya konsumen informasi, tetapi juga produsen makna. Mereka menciptakan konten, menyebarkan pesan, dan memaknai informasi berdasarkan latar belakang sosial, budaya, dan literasi digital. Ilmu Komunikasi menekankan bahwa konstruksi makna tak netral; ia terikat pada kekuasaan, simbol dominan, narasi besar, dan emosi. Seseorang bisa menolak informasi valid karena disampaikan figur yang tidak disukai. Makna dibentuk oleh isi pesan, persepsi, afiliasi, dan perasaan. Pendidikan harus mampu merespons kompleksitas ini.
Membangun Kesadaran Kritis di Era Digital
Pendidikan perlu membekali mahasiswa dengan kesadaran kritis dan kemampuan membaca media mendalam. Sayangnya, banyak pendekatan belajar masih konvensional, menganggap mahasiswa penerima pasif informasi. Metode pembelajaran konvensional cenderung fokus pada menghafal dan latihan teks, tidak sesuai dengan generasi yang terbiasa belajar mandiri dan mencari relevansi praktis. Pendekatan andragogi dan heutagogi menjadi relevan. Andragogi memandang pembelajar dewasa belajar karena kebutuhan, bukan kewajiban. Heutagogi menempatkan mahasiswa sebagai penentu utama proses belajarnya.
Pendekatan ini sesuai dengan era digital, di mana platform seperti YouTube, Coursera, dan podcast edukatif memberi ruang belajar fleksibel dan personal. Media digital memungkinkan siapa pun belajar kapan pun, di mana pun. Namun, terbukanya akses juga meningkatkan risiko bias, manipulasi, dan polarisasi informasi. Ilmu Komunikasi berperan memastikan mahasiswa mampu menyaring dan memaknai informasi secara kritis.
Algoritma tidak netral; ia mengikuti kepentingan ekonomi, politik, atau ideologi pasar. Tanpa kesadaran algoritmik, mahasiswa mudah terjebak ilusi bahwa apa yang muncul di layar mencerminkan preferensi mereka, padahal telah disesuaikan sistem. Pendidikan harus menjadi jangkar kesadaran, etika, dan keberpihakan sosial.
Menuju Pendidikan yang Intentional dan Bermakna
Mengajar di era algoritma tak cukup hanya menyampaikan materi. Dosen perlu membentuk kesadaran makna. Mahasiswa perlu dilatih tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi juga membaca simbol, mengkritisi narasi viral, dan memilah informasi secara etis. Seperti yang dikatakan Yuval Noah Harari, kemampuan memilah informasi dan berpikir kritis jauh lebih penting daripada hafalan. Pendidikan masa depan harus melampaui digitalisasi semata; ia harus intensional, reflektif, dan bermakna secara sosial.
Praktik komunikasi dalam pendidikan harus manusiawi, emosional, dan etis. Tujuan pendidikan bukan mencetak algoritma baru, tetapi membentuk manusia utuh, sadar, kritis, dan empatik dalam membaca dunia yang terus berubah. Peran Ilmu Komunikasi dalam hal ini sangatlah krusial untuk memastikan setiap individu mampu menghadapi kompleksitas informasi di era digital.
Pendidikan tinggi harus mampu menjawab tantangan ini dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Ilmu Komunikasi ke dalam kurikulum. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya menguasai keahlian teknis, tetapi juga memiliki kemampuan kritis untuk menavigasi dunia informasi yang kompleks dan dinamis.
*) Dr. Reza Praditya Yudha adalah Kaprodi Ilmu Komunikasi Kampus PPU Universitas Gunadarma, pakar Ilmu Komunikasi, Media, dan Masyarakat