Indonesia Desak Konsensus Cepat: Mengapa Perjanjian Polusi Plastik Global Mendesak?
Indonesia terus mendesak konsensus cepat untuk Perjanjian Polusi Plastik Global. Apa alasan di balik urgensi ini dan bagaimana peran Indonesia dalam upaya global?
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan komitmen Indonesia dalam upaya global mengatasi polusi plastik. Beliau mendesak percepatan penyelesaian negosiasi perjanjian global terkait isu krusial ini.
Pernyataan tersebut disampaikan di Jenewa, Swiss, selama sesi kedua Komite Negosiasi Antarpemerintah (INC-5.2) yang berlangsung dari 5 hingga 15 Agustus. Komite ini bertugas mengembangkan instrumen hukum internasional yang mengikat tentang polusi plastik.
Indonesia menekankan pentingnya negosiasi yang inklusif dan adil, terutama bagi negara berkembang. Dukungan teknologi, finansial, dan investasi dari negara maju sangat dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan efektif.
Peran Sentral Indonesia dalam Negosiasi Global
Dalam pertemuan di Jenewa, Menteri Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan keprihatinan Indonesia terhadap lambatnya progres pembicaraan perjanjian. Negosiasi yang dimulai sejak tahun 2022 ini dinilai belum menunjukkan kemajuan signifikan.
Indonesia menegaskan urgensi untuk segera merampungkan pakta ini. Hal tersebut diperlukan guna mengatasi ancaman polusi plastik yang semakin memburuk dan berdampak luas.
Di sela-sela sesi tersebut, Menteri juga mengikuti berbagai agenda penting. Termasuk roundtable menteri, dialog publik-swasta, dan pertemuan bilateral dengan pejabat Swiss, Inggris, serta Belanda.
Prinsip Indonesia untuk Perjanjian yang Adil dan Ambisius
Indonesia memiliki target ambisius untuk mengelola 100 persen limbahnya, termasuk sampah plastik, pada tahun 2029. Komitmen ini menunjukkan keseriusan negara dalam penanganan isu lingkungan.
Dalam diskusi terpisah dengan Koalisi Bisnis untuk Perjanjian Plastik Global, Indonesia menekankan pentingnya adopsi perjanjian melalui konsensus, bukan pemungutan suara. Ini memastikan kesepakatan yang lebih kuat dan diterima semua pihak.
"Perjanjian ini harus menjadi instrumen hukum yang ambisius namun praktis," ujar Menteri Hanif. "Kita harus bertindak sekarang untuk mengakhiri polusi plastik."
Indonesia juga mendukung tiga misi inti koalisi tersebut: eliminasi produk dan bahan kimia bermasalah, promosi desain produk berkelanjutan, serta perluasan kerangka Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas (EPR).
Di bawah kerangka EPR, produsen bertanggung jawab penuh atas seluruh siklus hidup produk mereka. Ini termasuk pengelolaan limbah yang dihasilkan oleh produk tersebut.