KPK Mulai Penyidikan Korupsi Haji Kemenag 2023-2024: Soroti Kejanggalan Kuota 50:50
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi memulai penyidikan dugaan korupsi haji di Kementerian Agama tahun 2023-2024, menyoroti pembagian kuota 50:50 yang janggal.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi memulai penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi. Perkara ini terkait dengan penentuan kuota serta penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama untuk tahun 2023-2024. Langkah serius ini diambil setelah KPK menemukan peristiwa yang mengindikasikan adanya pelanggaran hukum yang patut diselidiki lebih lanjut.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan bahwa temuan tersebut cukup kuat. Hal ini menjadi dasar untuk meningkatkan status perkara ke tahap penyidikan. Pernyataan ini disampaikan Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Sabtu dini hari. Proses penyidikan ini diharapkan dapat mengungkap fakta-fakta terkait dugaan penyimpangan yang terjadi.
Sebagai tindak lanjut, KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum untuk kasus ini. Penerbitan sprindik menandai dimulainya proses hukum secara formal. Pasal yang dikenakan adalah Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ini menunjukkan keseriusan KPK dalam menangani kasus ini.
Sorotan Pansus Angket dan Kejanggalan Kuota Haji
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan bahwa penyelidikan perkara ini telah memasuki babak akhir pada 7 Agustus 2025. Proses ini melibatkan pengumpulan keterangan dari berbagai pihak terkait. Salah satunya adalah permintaan keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, untuk mendalami dugaan penyimpangan yang ada.
Bersamaan dengan langkah KPK, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga mengklaim telah menemukan sejumlah kejanggalan signifikan. Temuan ini terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024. Temuan Pansus ini menjadi salah satu dasar penting yang memperkuat dugaan adanya praktik korupsi dalam pengelolaan haji. Hal ini menunjukkan adanya perhatian serius dari berbagai lembaga terhadap isu ini.
Titik poin utama yang menjadi sorotan Pansus adalah perihal pembagian kuota tambahan haji sebesar 20.000. Kuota tambahan ini merupakan alokasi yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia. Kementerian Agama saat itu membagi kuota tambahan ini secara merata, yaitu 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus. Pembagian ini menjadi pusat perhatian karena dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pembagian kuota 50:50 tersebut dinilai tidak selaras dengan amanat Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Undang-undang tersebut secara jelas mengatur bahwa kuota haji khusus seharusnya sebesar delapan persen dari total kuota. Sementara itu, 92 persen sisanya dialokasikan untuk kuota haji reguler. Ketidaksesuaian ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan kuota haji di Kementerian Agama.