KPK Tanggapi Polemik Definisi OTT: Penangkapan Bupati Kolaka Timur Sesuai Aturan, Bukan 'OTT Plus'!
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi pernyataan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh terkait definisi OTT, menegaskan penangkapan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis telah sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan klarifikasi tegas mengenai terminologi operasi tangkap tangan (OTT) yang sempat dipersoalkan oleh Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh. Penangkapan Bupati Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, Abdul Azis (ABZ), ditegaskan telah berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pernyataan ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Sabtu dini hari.
Asep Guntur menjelaskan bahwa definisi 'tangkap tangan' mencakup beberapa kondisi. Hal tersebut bisa terjadi ketika seseorang ditemukan pada saat tindak pidana berlangsung, atau sesaat setelahnya diteriakkan oleh khalayak ramai sebagai pelaku, maupun saat ditemukan bukti-bukti padanya. Penjelasan ini bertujuan untuk meluruskan persepsi publik dan pihak terkait mengenai prosedur penangkapan yang dilakukan oleh lembaga antirasuah tersebut.
KPK menegaskan bahwa penindakan terhadap Bupati Kolaka Timur merupakan bagian dari upaya pemberantasan korupsi yang sistematis. Proses ini diawali dengan penerbitan surat perintah penyelidikan kasus dugaan korupsi terkait pembangunan rumah sakit umum daerah di Kolaka Timur pada awal tahun 2025. Perkembangan informasi dan bukti yang terkumpul kemudian mengarahkan pada tindakan penangkapan yang dilakukan secara terencana dan terukur.
Kronologi Penangkapan Bupati Kolaka Timur
Menurut Asep Guntur, KPK telah mengumpulkan informasi penting sejak pertengahan Juli 2025. Data yang terkumpul menunjukkan adanya peningkatan komunikasi dan proses penarikan sejumlah uang yang ditujukan kepada beberapa pihak terkait. Menindaklanjuti informasi krusial ini, tim KPK dibagi menjadi tiga kelompok untuk melakukan operasi di lokasi berbeda secara simultan.
Tiga tim tersebut ditugaskan untuk melakukan operasi tangkap tangan di tiga lokasi strategis, yaitu Jakarta, Kendari (Sulawesi Tenggara), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Operasi dimulai dengan penangkapan di Jakarta dan Kendari, di mana beberapa terduga berhasil diamankan. Dari hasil interogasi awal terhadap terduga yang diamankan di Jakarta dan Kendari, tim mendapatkan informasi tambahan yang sangat meyakinkan.
Informasi tersebut menguatkan dugaan bahwa perintah dan penyerahan uang atau barang juga melibatkan saudara ABZ. Meskipun informasi awal sudah mengarah pada ABZ, keterangan dari terduga yang diamankan di Jakarta dan Kendari semakin memperkuat keyakinan tim. Oleh karena itu, tim yang berada di Makassar segera bergerak untuk melakukan penangkapan terhadap Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis, yang kemudian dikategorikan sebagai operasi tangkap tangan.
Klarifikasi KPK atas Definisi OTT
Sebelumnya, Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, sempat mengemukakan pandangannya mengenai terminologi OTT setelah menghadiri Rakernas NasDem di Makassar pada Jumat (8/8). Surya Paloh menginstruksikan kadernya di Komisi III DPR RI untuk memanggil KPK dalam rapat dengar pendapat guna memperjelas definisi OTT. Menurutnya, OTT seharusnya merupakan peristiwa penangkapan yang terjadi di satu tempat, melibatkan transaksi langsung antara pemberi dan penerima yang melanggar norma hukum.
Surya Paloh mempertanyakan validitas sebuah OTT jika pihak pemberi dan penerima berada di lokasi yang berbeda, misalnya, pemberi di Sulawesi Utara dan penerima di Sulawesi Selatan. Ia bahkan melontarkan istilah 'OTT plus' untuk menggambarkan situasi tersebut. Namun, KPK melalui Asep Guntur menegaskan bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap ABZ telah memenuhi kriteria 'tangkap tangan' sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa perlu adanya istilah tambahan.
KPK menekankan bahwa proses penangkapan tidak selalu harus terjadi pada saat transaksi fisik secara langsung di satu lokasi. Definisi 'tangkap tangan' yang dianut KPK mencakup penemuan bukti kuat yang mengindikasikan tindak pidana korupsi, baik saat kejadian, sesaat setelahnya, atau berdasarkan bukti yang melekat pada pelaku. Hal ini memastikan bahwa penegakan hukum dapat berjalan efektif meskipun modus operandi pelaku semakin kompleks dan tersebar di berbagai wilayah.