LBH Medan Soroti Kontroversi Hukum: Mengapa Abolisi Tom Lembong Dinilai Tidak Tepat?
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menyatakan pemberian abolisi Tom Lembong oleh Presiden Prabowo Subianto tidak tepat secara hukum, berpotensi mencederai penegakan hukum di Indonesia.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Sumatera Utara, baru-baru ini menyampaikan kritik tajam terhadap keputusan Presiden RI Prabowo Subianto terkait pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab disapa Tom Lembong. Menurut Irvan Saputra, Direktur LBH Medan, langkah ini dinilai tidak tepat secara hukum dan berpotensi besar mencederai prinsip penegakan hukum yang berlaku di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan Irvan di Medan pada Ahad, menyoroti implikasi serius dari keputusan tersebut.
Kritik ini muncul setelah Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Surat Presiden Nomor R.43/PRES/07/2025 tertanggal 30 Juli 2025. Surat tersebut berisi permintaan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengenai pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan RI periode 2015–2016 itu. LBH Medan menegaskan bahwa abolisi seharusnya hanya diberikan kepada pihak yang telah terbukti bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sementara proses hukum Tom Lembong masih berjalan dan belum mencapai putusan inkrah.
Tom Lembong sebelumnya divonis bersalah dalam kasus impor gula dan dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara serta denda Rp750 juta, dengan ketentuan kurungan enam bulan jika denda tidak dibayar. Namun, LBH Medan berpendapat bahwa pemberian abolisi pada tahap ini justru menimbulkan kesan seolah-olah Tom Lembong telah melakukan tindak pidana, padahal proses peradilan belum final. Upaya hukum banding yang sedang ditempuh Tom Lembong dinilai sebagai langkah yang tepat untuk memulihkan nama baiknya.
Dasar Hukum Pemberian Abolisi dan Kritik LBH Medan
LBH Medan secara tegas menyatakan bahwa keputusan pemberian abolisi kepada Tom Lembong tidak sesuai dengan regulasi yang ada. Menurut Irvan Saputra, abolisi merupakan hak prerogatif presiden yang diberikan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Dalam kasus Tom Lembong, proses peradilan masih berada pada tahap banding, sehingga belum ada putusan akhir yang mengikat.
Pemberian abolisi pada tahap ini, menurut LBH Medan, dapat diartikan sebagai pengakuan tersirat atas kesalahan Tom Lembong, padahal pembuktian di pengadilan belum tuntas. Hal ini berpotensi membingungkan publik dan merusak citra independensi peradilan. LBH Medan menekankan pentingnya menunggu seluruh proses hukum selesai demi kepastian dan keadilan.
Irvan juga menambahkan bahwa fakta persidangan menunjukkan tidak adanya niat jahat atau penerimaan keuntungan pribadi oleh Tom Lembong dalam kasus importasi gula tersebut. Oleh karena itu, LBH Medan berpandangan bahwa Tom Lembong seharusnya diputus bebas, dan upaya banding yang sedang ditempuh adalah jalan yang tepat untuk membersihkan namanya dari tuduhan.
Dugaan Kriminalisasi dan Politisasi Hukum
Kasus hukum yang menjerat Tom Lembong terkait kebijakan impor gula semasa menjabat Menteri Perdagangan dinilai LBH Medan sebagai bentuk dugaan kriminalisasi dan politisasi hukum. Kebijakan impor gula adalah kewenangan seorang menteri untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga gula nasional, yang merupakan bagian dari kebijakan publik. Menjerat kebijakan semacam itu dengan pasal korupsi, menurut LBH Medan, adalah tindakan yang patut dipertanyakan.
LBH Medan menegaskan bahwa aparat penegak hukum seharusnya mampu memisahkan antara kebijakan publik dan tindak pidana korupsi. Pemisahan ini krusial untuk mencegah penggunaan hukum sebagai alat politik atau untuk menjerat pejabat publik atas dasar kebijakan yang mereka ambil, bukan atas dasar niat jahat atau keuntungan pribadi yang terbukti. Jika tidak, hal ini dapat menciptakan iklim ketakutan bagi para pembuat kebijakan.
Pihak LBH Medan juga meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung RI maupun Mahkamah Agung RI. Kasus importasi gula ini telah menimbulkan kegaduhan publik dan melanggar prinsip hak asasi manusia, termasuk hak untuk mendapatkan perlakuan adil di hadapan hukum. Evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa proses penegakan hukum berjalan sesuai koridor keadilan dan tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Implikasi dan Harapan LBH Medan
Kasus yang menimpa Tom Lembong dan polemik abolisi ini telah menjadi sorotan luas dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat, akademisi, politisi, dan pakar hukum. Kegaduhan yang ditimbulkan menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan langkah korektif dalam proses penegakan hukum di Indonesia. LBH Medan berharap agar kasus serupa tidak terulang di masa depan, di mana kebijakan publik dapat dengan mudah dikriminalisasi.
LBH Medan menekankan pentingnya menjaga prinsip hak asasi manusia, terutama hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlakuan adil di hadapan hukum. Proses peradilan harus berjalan transparan dan sesuai prosedur, tanpa adanya intervensi yang dapat memengaruhi putusan akhir. Ini penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Secara keseluruhan, LBH Medan berharap agar Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan kembali pemberian abolisi ini dan memastikan bahwa setiap keputusan hukum didasarkan pada prinsip keadilan dan kepastian hukum yang kuat. Hal ini krusial untuk menjaga integritas penegakan hukum di Indonesia dan menghindari preseden buruk di kemudian hari.
- Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta dalam kasus impor gula.
- Surat Presiden Nomor R.43/PRES/07/2025 tanggal 30 Juli 2025 berisi permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi.
- Proses hukum Tom Lembong masih dalam tahap banding dan belum berkekuatan hukum tetap.