Mengapa Penolakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) Ancam Industri Tekstil Nasional? APSyFI Bertemu Kemendag
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mendiskusikan dampak kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) yang ditolak pemerintah terhadap industri tekstil nasional. Akankah ini mengancam kedaulatan?
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) baru-baru ini melakukan audiensi penting dengan Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (BK Kemendag). Pertemuan ini bertujuan untuk membahas secara mendalam dampak signifikan dari penolakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap kondisi industri tekstil nasional yang sedang berjuang.
Audiensi yang berlangsung di Jakarta ini menyoroti kekhawatiran serius dari para pelaku industri. Keputusan pemerintah untuk tidak memproses lebih lanjut rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mengenai pengenaan BMAD atas impor benang filamen sintetis tertentu asal China menjadi fokus utama pembahasan.
Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil, secara tegas menyatakan bahwa penolakan BMAD, ditambah dengan maraknya impor ilegal produk China, berpotensi menjadi risiko besar. Situasi ini dikhawatirkan dapat menggoyahkan stabilitas dan keberlanjutan industri tekstil dalam negeri yang telah dibangun selama puluhan tahun.
Dampak Penolakan BMAD terhadap Iklim Investasi dan Industri
Penolakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) menciptakan ketidakpastian yang signifikan bagi iklim investasi di sektor tekstil Indonesia. Menurut Farhan Aqil dari APSyFI, investor asing kini merasa tidak ada jaminan iklim usaha yang adil jika barang impor terus membanjiri pasar tanpa hambatan yang berarti.
Situasi ini sangat disayangkan, mengingat BMAD seharusnya menjadi momentum krusial bagi kebangkitan industri domestik. Banyak investor asing sebelumnya telah melihat potensi besar untuk menghidupkan kembali mesin-mesin produksi yang sempat terhenti, namun penolakan BMAD ini mengubah keputusan mereka.
Kondisi pasar yang tidak adil akibat impor yang tidak terkendali dapat membuat investor berpikir ulang. Mereka membutuhkan kepastian regulasi dan perlindungan dari praktik perdagangan yang tidak sehat untuk berani menanamkan modalnya di Indonesia.
Ancaman Deindustrialisasi dan Lonjakan Impor Benang Filamen
Data yang dihimpun oleh APSyFI menunjukkan adanya lonjakan impor benang filamen yang sangat drastis, mencapai antara 70 persen hingga 300 persen sejak tahun 2017 hingga saat ini. Peningkatan impor ini menjadi indikator jelas adanya tekanan serius terhadap produksi domestik.
Farhan Aqil menekankan bahwa kondisi ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Jika dibiarkan, risiko dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan akan sangat besar, termasuk potensi kredit macet bagi pelaku industri, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, serta mesin-mesin produksi yang mangkrak tanpa aktivitas.
Lebih jauh, situasi ini juga dikhawatirkan dapat menurunkan kepercayaan generasi muda terhadap sektor manufaktur sebagai pilihan karier yang menjanjikan. Pada akhirnya, semua faktor ini dapat bermuara pada ancaman deindustrialisasi, di mana kapasitas produksi nasional terus menurun dan digantikan oleh produk impor.
Sikap Pemerintah dan Harapan APSyFI
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak memproses rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) diambil setelah mempertimbangkan berbagai aspek. Pemerintah berdalih bahwa keputusan ini diambil dengan melihat kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional secara menyeluruh.
Salah satu alasan utama yang dikemukakan oleh Mendag Budi Santoso adalah pasokan benang filamen sintetis tertentu di pasar domestik yang masih terbatas. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu menjaga ketersediaan pasokan untuk industri hilir.
Meskipun demikian, APSyFI terus mendorong pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang berpatokan pada kepentingan bersama dan melindungi kedaulatan industri nasional. Farhan Aqil menegaskan bahwa isu ini bukan lagi sekadar masalah bisnis, melainkan tentang menjaga fondasi industri yang telah dibangun selama puluhan tahun demi masa depan ekonomi bangsa.