Menteri HAM: Kenapa Pengibaran Bendera One Piece di Hari Kemerdekaan 2025 Bisa Dianggap Makar?
Menteri HAM Natalius Pigai menilai pengibaran Bendera One Piece sejajar Merah Putih pada 2025 bisa dianggap makar. Mengapa negara berhak melarangnya?
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, baru-baru ini menyampaikan pandangannya terkait pengibaran bendera fiksi "One Piece". Ia menilai negara berhak melarang pengibaran bendera tersebut pada momen peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2025. Hal ini menjadi perhatian publik mengingat popularitas anime tersebut.
Menurut Pigai, tindakan pengibaran bendera fiksi yang disejajarkan dengan bendera Merah Putih dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Bahkan, ia menyebutnya sebagai bentuk makar terhadap negara. Pernyataan ini disampaikan dalam keterangannya di Jakarta pada Minggu lalu.
Pelarangan ini, menurut Pigai, merupakan upaya penting untuk menjaga simbol-simbol nasional. Tujuannya adalah sebagai wujud penghormatan terhadap negara dan integritasnya. Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga kesatuan bangsa.
Dasar Hukum Pelarangan dan Integritas Nasional
Pigai menjelaskan bahwa pelarangan pengibaran bendera fiksi ini memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menegaskan bahwa setiap negara memiliki hak untuk melindungi simbol-simbol kedaulatannya. Pengibaran Bendera One Piece yang disejajarkan dengan bendera negara dianggap merendahkan martabat simbol nasional.
Tindakan ini, lanjutnya, berpotensi mengganggu stabilitas dan ketertiban umum. Oleh karena itu, negara memiliki kewenangan untuk mengambil langkah preventif. Hal ini dilakukan demi menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa dari potensi ancaman.
Lebih lanjut, Pigai menekankan bahwa keputusan pelarangan ini sejalan dengan aturan internasional. Aturan tersebut mengatur hak negara dalam mengambil sikap atas isu-isu tertentu. Terutama yang menyangkut integritas nasional dan stabilitas negara.
Dukungan Internasional dan Kovenan PBB
Menteri Pigai meyakini bahwa keputusan pelarangan ini akan mendapatkan dukungan dan penghargaan dari komunitas internasional. Termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi global. Dukungan ini didasari pada prinsip kedaulatan negara.
Ia menjelaskan bahwa pelarangan tersebut sejalan dengan Kovenan PBB tentang Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini telah diadopsi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. UU tersebut mengatur pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Undang-undang ini, kata Pigai, memberikan ruang bagi negara untuk menjaga keamanan dan stabilitas nasional. Dengan demikian, langkah pemerintah dalam melarang pengibaran Bendera One Piece memiliki landasan hukum yang kuat. Baik dari perspektif nasional maupun internasional.
Pigai berharap masyarakat dapat memahami bahwa pelarangan ini adalah upaya menjaga kesatuan dan integritas bangsa. Terlebih dalam momentum bersejarah seperti perayaan Hari Kemerdekaan. Ini menunjukkan sinergi hukum nasional dan internasional.
Batasan Kebebasan Ekspresi dan Kepentingan Nasional
Menanggapi kekhawatiran mengenai pembatasan kebebasan berekspresi, Pigai menegaskan bahwa pelarangan ini tidak ada hubungannya dengan hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi memiliki batasan. Batasan ini ditetapkan demi kepentingan yang lebih besar.
Menurutnya, sikap pemerintah adalah demi "core of national interest" atau kepentingan inti nasional. Ini berarti bahwa ada situasi di mana kebebasan ekspresi dapat dibatasi oleh negara. Pembatasan ini dilakukan untuk melindungi nilai-nilai fundamental bangsa.
Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan. Prioritas utama adalah perlindungan terhadap simbol-simbol negara. Hal ini juga memastikan bahwa perayaan kemerdekaan berlangsung dengan khidmat.