Mungkinkah Listrik Bali dari Myanmar? Pusat Energi ASEAN Tekankan Pentingnya Integrasi Kelistrikan ASEAN
Pusat Energi ASEAN menyoroti urgensi Integrasi Kelistrikan ASEAN yang telah digagas puluhan tahun lalu untuk ketahanan energi, ekonomi, dan atasi perubahan iklim. Mengapa ini krusial?
Pusat Energi ASEAN (ASEAN Centre for Energy) baru-baru ini kembali menyoroti urgensi integrasi sistem kelistrikan di seluruh 10 negara anggota ASEAN. Penekanan ini disampaikan guna memperkuat ketahanan energi di kawasan, sebuah isu krusial bagi stabilitas dan pertumbuhan. Inisiatif ini, yang dikenal sebagai ASEAN Power Grid, telah digagas sejak tahun 1997 namun implementasinya masih terbatas.
Manajer Senior untuk APAEC di Pusat Energi ASEAN, Beni Suryadi, menjelaskan bahwa ide integrasi ini sebenarnya sudah muncul sejak dua hingga tiga dekade lalu. Konsep utamanya adalah bagaimana menghubungkan dan menyatukan jaringan listrik antarnegara anggota. Hal ini dibahas dalam acara "Talking ASEAN Seminar" di Jakarta.
Integrasi kelistrikan ini diharapkan dapat menciptakan efisiensi energi yang lebih baik, mengatasi ketidakseimbangan antara potensi sumber daya dan permintaan, serta menjadi solusi strategis dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global. Selain itu, proyek ambisius ini juga diproyeksikan membawa dampak ekonomi signifikan bagi kawasan.
Manfaat Strategis Integrasi Kelistrikan ASEAN
Beni Suryadi mencontohkan, integrasi sistem kelistrikan memungkinkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit di Myanmar dapat dimanfaatkan hingga ke rumah-rumah di Bali. Konsep ini serupa dengan subsidi silang, di mana daerah dengan potensi listrik melimpah namun permintaan rendah dapat menyuplai daerah dengan permintaan tinggi namun minim potensi pembangkit. Di Indonesia, misalnya, Kalimantan memiliki potensi tenaga air besar, tetapi permintaan tertinggi ada di Jawa.
Di tingkat regional ASEAN, Laos memiliki potensi tenaga air yang sangat besar, namun kebutuhan listrik domestiknya tidak sebanding. Sementara itu, pusat permintaan listrik yang tinggi justru berada di Singapura. Dengan integrasi, kelebihan pasokan dari Laos dapat disalurkan ke negara-negara tetangga yang membutuhkan, menciptakan keseimbangan pasokan dan permintaan.
Lebih lanjut, integrasi sistem kelistrikan juga berperan penting dalam upaya negara-negara anggota ASEAN mengatasi isu perubahan iklim. Thailand, misalnya, dapat beralih dari pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan memilih untuk terhubung ke sumber energi terbarukan atau tenaga air dari Laos. Ini mendukung target Nationally Determined Contribution (NDC) negara tersebut.
Singapura, yang hampir 99,9 persen listriknya berasal dari gas alam dan sebagian kecil dari batu bara, menghadapi tantangan besar dalam memenuhi target energi bersih. Dengan potensi tenaga surya yang sangat terbatas, satu-satunya cara bagi Singapura untuk menghadapi perubahan iklim adalah dengan memanfaatkan listrik berbasis energi terbarukan dari negara lain, seperti Laos atau bahkan Indonesia.
Dampak Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja
Pusat Energi ASEAN mencatat bahwa proyek Integrasi Kelistrikan ASEAN berpotensi meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) kawasan secara signifikan. Proyeksi menunjukkan peningkatan PDB hingga 3 triliun dolar AS, atau sekitar Rp49.000 triliun, merupakan angka yang fantastis. Angka ini menggambarkan potensi pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.
Selain dampak pada PDB, integrasi ini juga diperkirakan akan menciptakan sekitar 1,45 juta lapangan pekerjaan, baik secara langsung maupun dalam jangka panjang. Angka ini meliputi berbagai sektor, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga operasional dan pemeliharaan jaringan listrik.
Penciptaan lapangan kerja ini sejalan dengan prinsip pergerakan bebas tenaga kerja terampil di ASEAN. Hal ini berarti insinyur dari Indonesia dapat bekerja di negara anggota ASEAN lainnya, dan sebaliknya. Mobilitas tenaga kerja terampil akan mendukung implementasi dan keberlanjutan proyek berskala regional ini.