Polemik Mutasi Ketua IDAI: Sistemik, Bukan Sekadar Masalah Administrasi
Pengamat Manajemen Kesehatan menyoroti kelemahan sistemik dalam mutasi Ketua IDAI, mendesak perbaikan kebijakan SDM dan koordinasi antar-institusi untuk mencegah dampak negatif pada pendidikan dan layanan kesehatan anak.
Jakarta, 5 Mei 2024 - Pemindahtugasan mendadak Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim Basarah Yanuarso, dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) ke RS Fatmawati telah memicu kritik publik. Puspita Wijayanti, pengamat Manajemen Kesehatan lulusan Universitas Airlangga (Unair), menilai masalah ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan mencerminkan kelemahan sistemik dalam manajemen sumber daya manusia (SDM) kesehatan di Indonesia. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana pemerintah mengelola tenaga kesehatan strategis, khususnya di bidang pendidikan kedokteran.
Puspita menjelaskan, tiadanya desain kebijakan SDM yang mampu membedakan antara pegawai administratif biasa dan tenaga fungsional dengan peran regeneratif dalam pendidikan kedokteran menjadi akar permasalahan. Meskipun mutasi merupakan tindakan sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Puspita menekankan bahwa sah tidak selalu berarti bijak, terutama dalam konteks tenaga kesehatan spesialis yang berperan penting dalam pendidikan dan layanan kesehatan.
Lebih lanjut, Puspita menyoroti Pasal 92 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mewajibkan pemerintah menjamin ketersediaan dan pemerataan tenaga kesehatan. Menurutnya, pemindahan dr. Piprim tanpa memperhitungkan efek domino pada pendidikan dan layanan kesehatan nasional merupakan bentuk pelanggaran terhadap mandat UU tersebut. "Maka, jika pemindahan dilakukan tanpa perhitungan terhadap efek domino pada pendidikan dan layanan nasional, ini bukan hanya kegagalan teknis, melainkan bentuk pelanggaran terhadap mandat UU," tegas Puspita.
Perbaikan Sistemik Mutasi Tenaga Kesehatan Strategis
Puspita mengusulkan beberapa perbaikan sistemik untuk mencegah terulangnya kejadian serupa. Pertama, perlu dibangun sistem mutasi ASN strategis yang berbasis ekosistem fungsi, bukan sekadar administratif. Mutasi terhadap tenaga pendidik utama harus melibatkan koordinasi lintas institusi, seperti rumah sakit, fakultas kedokteran, dan kementerian terkait. Hal ini penting untuk memastikan kelancaran proses pendidikan dan layanan kesehatan.
Kedua, pengembangan peta SDM sub-spesialis nasional sangat krusial. Pemerintah harus memiliki data yang akurat mengenai distribusi, kapasitas, dan kesinambungan tenaga ahli, termasuk proyeksi pensiun dan rencana regenerasi. Dengan peta SDM yang komprehensif, pemerintah dapat mengambil keputusan mutasi yang lebih terencana dan terukur.
Ketiga, Puspita menekankan perlunya ruang formal untuk integritas vokal. Kanal institusional yang efektif dibutuhkan agar kritik dari dalam sistem tidak selalu dianggap mengganggu, melainkan sebagai masukan berharga untuk perbaikan sistem. Kritik yang konstruktif seharusnya dihargai dan digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan.
Perlunya Dewan Talenta Medis Nasional
Sebagai solusi jangka panjang, Puspita menyarankan pembentukan Dewan Talenta Medis Nasional. Dewan ini akan melibatkan lintas kementerian dan organisasi profesi untuk memastikan kebijakan terkait distribusi dan pengembangan tenaga medis, khususnya di rumah sakit pendidikan, diambil secara kolektif dan berbasis data, fungsi, serta evaluasi yang komprehensif. Dengan demikian, keputusan mutasi tidak lagi sepihak dan berpotensi merugikan sistem kesehatan secara keseluruhan.
Puspita juga mengingatkan bahwa RSCM bukan hanya rumah sakit layanan, tetapi juga pusat pendidikan dokter sub-spesialis. Memindahkan ahli intervensi jantung anak tanpa skema pengganti yang jelas berisiko terhadap mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan anak secara nasional. Rumah sakit pendidikan utama memiliki tanggung jawab akademik dan klinis yang terikat pada standar akreditasi.
Pemindahan pendidik kunci tanpa jaminan kontinuitas akan berdampak negatif pada proses pembelajaran, standar supervisi klinis, dan daya saing akademik institusi, baik nasional maupun internasional. Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan yang matang dan komprehensif dalam pengelolaan SDM kesehatan strategis untuk menghindari dampak negatif terhadap sistem kesehatan nasional.
Negara tidak boleh abai terhadap mandat undang-undangnya sendiri. Mengelola tenaga strategis tanpa peta kebutuhan dan distribusi yang jelas akan berdampak pada generasi dokter yang kehilangan rujukan dan sistem yang kehilangan legitimasi moralnya. Perbaikan sistemik mutasi tenaga kesehatan strategis menjadi keharusan untuk menjamin kualitas layanan kesehatan anak di Indonesia.