Wagub Banten Usul Anak Tawuran Diasramakan: Solusi Jangka Panjang atau Jalan Pintas?
Wagub Banten mengusulkan anak-anak yang terlibat tawuran diasramakan di fasilitas militer untuk pembinaan karakter, meskipun proses hukum tetap berjalan untuk kasus yang menimbulkan kerugian.
Wakil Gubernur Banten, A. Dimyati Natakusumah, mengusulkan solusi kontroversial untuk mengatasi masalah tawuran remaja di Banten. Usulan tersebut mengemuka di Serang pada Rabu, 14 Mei, di mana beliau menyarankan agar anak-anak yang terlibat tawuran dan kenakalan remaja lainnya dikirim ke asrama untuk pembinaan. Usulan ini mencakup pemanfaatan fasilitas militer seperti Kopassus atau Brimob, dengan tujuan membentuk karakter dan kedisiplinan mereka.
Dimyati menekankan bahwa meskipun para pelaku masih anak-anak, tindakan pidana tetap harus diproses sesuai hukum yang berlaku, terutama jika ada korban atau kerugian yang diderita. Namun, beliau melihat pembinaan di asrama sebagai solusi jangka panjang yang lebih efektif untuk memberikan arah dan masa depan yang lebih baik bagi para remaja tersebut. Beliau bahkan menyatakan kesediaan pemerintah daerah untuk menanggung biaya asrama tersebut.
Gagasan ini muncul sebagai respons atas keprihatinan Wagub terhadap maraknya aksi tawuran di Banten. Dimyati secara tegas menyatakan penolakannya terhadap tawuran dan berkomitmen untuk memberantasnya selama masa kepemimpinannya bersama Gubernur Banten, Andra Soni. Beliau berharap para remaja lebih fokus pada kegiatan positif, pendidikan, dan pembentukan akhlak yang baik, serta menekankan peran lingkungan dan tontonan dalam mempengaruhi perilaku remaja.
Pembentukan Karakter dan Kedisiplinan di Asrama Militer
Usulan untuk memanfaatkan fasilitas militer seperti Kopassus atau Brimob dalam program pembinaan ini cukup mengejutkan. Dimyati berpendapat bahwa disiplin dan karakter yang kuat dapat dibentuk melalui lingkungan asrama militer. Namun, kritik dapat muncul terkait dengan potensi dampak psikologis dan metode pembinaan yang diterapkan di lingkungan tersebut pada anak-anak.
Meskipun usulan ini bertujuan baik, penting untuk mempertimbangkan aspek-aspek lain. Apakah metode ini sejalan dengan hak-hak anak dan prinsip-prinsip pembinaan yang humanis? Apakah ada alternatif lain yang dapat memberikan pembinaan yang lebih efektif dan sesuai dengan usia dan kondisi psikologis anak-anak tersebut?
Pemerintah perlu menjelaskan secara rinci mekanisme dan pengawasan yang akan diterapkan dalam program asrama ini. Transparansi dan akuntabilitas sangat penting untuk memastikan bahwa program ini berjalan sesuai dengan tujuannya dan tidak melanggar hak-hak anak.
Alternatif Program Pembinaan Remaja
Dimyati juga menyatakan keterbukaan terhadap program pembinaan alternatif seperti yang telah diterapkan di Jawa Barat. Namun, hingga saat ini belum ada rincian anggaran atau mekanisme yang jelas terkait program tersebut di Banten. Hal ini menandakan perlunya perencanaan yang matang dan komprehensif sebelum program asrama ini diimplementasikan.
Penting untuk diingat bahwa mengatasi masalah tawuran remaja membutuhkan pendekatan yang multi-faceted. Selain pembinaan, perlu juga adanya upaya pencegahan melalui pendidikan karakter, penyediaan fasilitas dan kegiatan positif bagi remaja, serta kerjasama antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat.
Program pembinaan di asrama militer mungkin dapat menjadi salah satu solusi, namun bukan satu-satunya. Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai alternatif program yang lebih komprehensif dan terintegrasi untuk mengatasi masalah ini secara efektif dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Usulan Wagub Banten untuk mengasramakan anak-anak yang terlibat tawuran di fasilitas militer merupakan langkah yang kontroversial dan membutuhkan kajian lebih mendalam. Meskipun niat baik untuk membentuk karakter dan kedisiplinan, perlu dipertimbangkan aspek hak-hak anak, metode pembinaan yang humanis, serta alternatif program yang lebih komprehensif. Suksesnya program ini bergantung pada perencanaan yang matang, transparansi, dan kerjasama dari berbagai pihak.