Waspada Radikalisme: BNPT Tekankan Deradikalisasi Eks Anggota JI dan Ancaman Terorisme Regional
Pembubaran JI perlu diwaspadai dengan program deradikalisasi untuk 1.400 eks anggota, ancaman terorisme regional dari pengungsi Rohingya juga perlu diatasi melalui kerja sama Indonesia, India, dan Bangladesh.
Anggota kelompok ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bidang kerja sama internasional, Darmansjah Djumala, mengingatkan pentingnya program deradikalisasi dan pembinaan jangka panjang bagi mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI). Meskipun JI telah membubarkan diri pada Juni 2024, ancaman munculnya kembali paham radikalisme tetap ada. Pernyataan ini disampaikan Djumala dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, 12 April. Lebih dari 1.400 mantan anggota JI telah kembali ke masyarakat, sehingga program pembinaan dan deradikalisasi BNPT menjadi krusial untuk mencegah kebangkitan kembali paham radikal.
Djumala mengapresiasi langkah pembubaran JI, namun menekankan kewaspadaan terhadap ideologi yang dianut kelompok tersebut selama ini. Ia menjelaskan bahwa program deradikalisasi BNPT akan meliputi tahapan rehabilitasi, re-edukasi, dan reintegrasi sosial bagi para mantan anggota JI. Hal ini bertujuan agar mereka meninggalkan paham radikal dan kembali berintegrasi ke dalam masyarakat secara damai dan produktif. Keberhasilan program ini sangat penting untuk mencegah munculnya kembali ancaman terorisme dari kelompok yang sama.
Selain fokus pada deradikalisasi eks anggota JI, Djumala juga menyoroti perkembangan isu terorisme di kawasan Asia Selatan, khususnya yang terkait dengan pengungsi Rohingya. Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber, ancaman terorisme di kawasan ini cukup signifikan. Kerja sama internasional menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini secara efektif dan mencegah penyebaran paham radikalisme lebih luas.
Ancaman Terorisme Regional dan Kerja Sama Internasional
Dalam pertemuan Joint Working Group (JWG) Kerja Sama Penanggulangan Terorisme ke-6 antara Indonesia dan India pada 23 Agustus 2024, delegasi India mendeteksi adanya tindak terorisme yang dilakukan kelompok radikal dari Bangladesh, yang diduga memiliki jaringan dengan pengungsi militan Rohingya. Hal ini menjadi perhatian serius mengingat jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia mencapai 2.026 orang (data UNHCR Mei 2024), tersebar di Aceh, Medan, dan Makassar. Situasi ini membutuhkan langkah antisipatif untuk mencegah potensi ancaman terorisme.
Data Global Terrorism Index (GTI) 2025 dari Institute for Economics and Peace (IEP) menunjukkan bahwa Asia Selatan memiliki skor rata-rata tertinggi tindakan terorisme dalam satu dekade terakhir. Fakta ini menggarisbawahi urgensi kerja sama internasional dalam menghadapi ancaman terorisme di kawasan tersebut. Indonesia, sebagai negara yang juga berbatasan langsung dengan beberapa negara di Asia Tenggara, perlu meningkatkan kewaspadaannya.
Sebagai langkah pre-emptive, Djumala menyarankan kerja sama antara Indonesia, India, dan Bangladesh dalam pertukaran informasi jaringan terorisme, khususnya yang terkait dengan pengungsi Rohingya. Kerja sama ini diharapkan dapat menekan potensi terorisme di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sejak dini. Pertukaran informasi intelijen dan koordinasi strategi penanggulangan terorisme sangat penting untuk mencegah aksi terorisme sebelum terjadi.
Perlu adanya peningkatan pengawasan dan deteksi dini terhadap potensi ancaman terorisme dari kelompok-kelompok radikal yang mungkin memanfaatkan situasi pengungsi Rohingya. Kerja sama yang erat antara lembaga penegak hukum dan intelijen di ketiga negara sangat krusial untuk mencegah penyebaran paham radikalisme dan melindungi keamanan regional.
Kesimpulan
Pembubaran JI bukan akhir dari perjuangan melawan terorisme. Program deradikalisasi yang komprehensif untuk mantan anggota JI dan kerja sama internasional yang kuat untuk menghadapi ancaman terorisme regional, khususnya yang terkait dengan pengungsi Rohingya, sangat penting untuk menjaga keamanan dan stabilitas Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Kewaspadaan dan langkah-langkah antisipatif harus terus ditingkatkan untuk mencegah kebangkitan kembali paham radikalisme dan melindungi masyarakat dari ancaman terorisme.