75 Tahun Indonesia-China: Persepsi Beragam, Kerja Sama Menguat
Sepanjang 75 tahun hubungan diplomatik, persepsi Indonesia-China di bidang politik, ekonomi, keamanan, dan budaya mengalami pasang surut, namun kerja sama bilateral terus meningkat.

Hubungan diplomatik Indonesia-China yang telah berlangsung selama 75 tahun ditandai oleh beragam persepsi di berbagai bidang, mulai dari politik dan ekonomi hingga keamanan dan budaya. Persepsi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk sejarah, kepentingan nasional, dan dinamika geopolitik. Meskipun terdapat perbedaan pandangan, kerja sama bilateral kedua negara terus menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Survei ASEAN People's Perceptions 2024 menunjukkan bahwa China dianggap sebagai negara terpenting bagi masa depan Asia Tenggara, namun juga sebagai negara yang paling mungkin mencampuri urusan politik negara-negara ASEAN. Di Indonesia sendiri, terdapat persepsi yang beragam terhadap China, dengan sebagian responden menilai China sebagai mitra yang paling relevan untuk masa depan ASEAN, sementara yang lain menganggapnya sebagai mitra yang tidak terpercaya dan tidak patuh terhadap hukum internasional. Hal ini menunjukkan kompleksitas persepsi masyarakat terhadap China.
Studi sejarah menunjukkan bahwa hubungan Indonesia-China telah mengalami periode ketegangan dan kerja sama. Pada awal hubungan diplomatik, perbedaan ideologi dan kepentingan nasional mewarnai interaksi kedua negara. Namun, seiring waktu, kedua negara mampu mengatasi perbedaan tersebut dan membangun kerja sama yang saling menguntungkan.
Persepsi Politik: Dari Ketegangan hingga Kerja Sama
Pada awal hubungan diplomatik tahun 1950, Indonesia dan China menghadapi berbagai ketegangan, termasuk perbedaan ideologi dan kekhawatiran terhadap pengaruh Partai Komunis China (PKC) di Asia Tenggara. Pemerintah Indonesia saat itu memandang PKC sebagai ancaman, sementara PKC mengkritik kebijakan luar negeri Indonesia. Namun, perubahan kebijakan luar negeri China pada akhir 1950-an, yang menekankan “Persatuan Damai”, membuka jalan bagi peningkatan kerja sama.
Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 menjadi momen penting dalam hubungan kedua negara. Pidato Perdana Menteri Zhou Enlai yang menekankan persatuan dan kerja sama antarnegara memberikan dampak positif bagi hubungan Indonesia-China. Kedua negara kemudian menjalin kemitraan dalam membangun solidaritas di antara negara-negara New Emerging Forces (NEFO).
Meskipun hubungan sempat terbekukan pada tahun 1967, normalisasi hubungan pada tahun 1990 menandai babak baru dalam kerja sama Indonesia-China. Kunjungan Presiden Soeharto ke China pada tahun 1990 dan peningkatan status hubungan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada tahun 2013 semakin memperkuat kerja sama bilateral.
Persepsi Ekonomi: Mitra Dagang Terbesar
Normalisasi hubungan diplomatik pada tahun 1990 membuka jalan bagi peningkatan kerja sama ekonomi antara Indonesia dan China. China kini menjadi mitra dagang terbesar Indonesia, dengan nilai transaksi perdagangan yang terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2024, nilai transaksi perdagangan mencapai 147,78 miliar dolar AS.
Investasi China di Indonesia juga mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2024, China menjadi negara ketiga terbesar yang berinvestasi secara langsung di Indonesia. Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) telah berkontribusi pada pembangunan Kawasan Industri Morowali Indonesia (IMIP), yang menjadi contoh nyata kerja sama ekonomi antara kedua negara.
IMIP, yang diresmikan pada tahun 2013, merupakan zona pemrosesan nikel terpadu terbesar di Indonesia dan telah berkontribusi pada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) Sulawesi Tengah. Keberhasilan IMIP menunjukkan potensi besar kerja sama ekonomi Indonesia-China di masa depan.
Persepsi Keamanan: Peningkatan Kerja Sama
Di bidang keamanan, Indonesia dan China telah meningkatkan kerja sama melalui berbagai mekanisme, termasuk Pertemuan Tingkat Menteri Pertama (2+2) pada tahun 2025. Pertemuan ini menandai langkah penting dalam membangun kepercayaan dan kerja sama keamanan antara kedua negara.
Kedua negara sepakat meningkatkan kerja sama penegakan hukum, pertukaran intelijen, dan koordinasi operasi dalam menanggulangi kejahatan transnasional. Pembentukan mekanisme konsultasi bilateral baru di bidang perlucutan senjata dan pengendalian senjata juga menunjukkan komitmen kedua negara dalam menjaga stabilitas regional.
Pertemuan 2+2 juga menghasilkan penandatanganan Nota Kesepahaman pembentukan Comprehensive Strategic Dialogue (CSD) dan penguatan koordinasi antara Bakamla dan China Coast Guard. Hal ini menunjukkan upaya kedua negara untuk membangun kepercayaan strategis dan memperkuat kerja sama di bidang maritim.
Persepsi Budaya: Pertukaran yang Menguat
Pertukaran budaya antara Indonesia dan China telah berlangsung lama dan terus berkembang. Sejak kunjungan Presiden Soekarno ke China pada tahun 1956, berbagai kegiatan pertukaran budaya telah dilakukan, termasuk pameran seni dan lomba pidato bahasa Indonesia.
Pameran Lartucira Field karya seniman kontemporer Indonesia Syaiful Aulia Garibaldi di Yuz Museum Shanghai pada tahun 2025 merupakan contoh terbaru dari pertukaran seni antara kedua negara. Lomba Pidato Bahasa Indonesia Tingkat Nasional di Beijing pada tahun 2025 juga menunjukkan minat masyarakat China terhadap budaya Indonesia.
Antusiasme mahasiswa China dalam mempelajari bahasa dan budaya Indonesia menunjukkan potensi besar untuk memperkuat hubungan kedua negara di masa depan. Keberhasilan berbagai program pertukaran budaya menunjukkan pentingnya kerja sama di bidang ini untuk mempererat hubungan Indonesia-China.
Persepsi dalam hubungan Indonesia-China memang beragam, namun kerja sama bilateral terus meningkat di berbagai bidang. Kedua negara telah menunjukkan komitmen untuk mengatasi perbedaan dan membangun hubungan yang saling menguntungkan. Ke depan, kerja sama Indonesia-China diharapkan dapat terus berkembang dan berkontribusi pada perdamaian dan kemakmuran regional.