AI: Mitra, Bukan Majikan; Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Manusia
Pakar keamanan siber dan komunikasi membahas peran AI sebagai alat bantu, bukan pengganti manusia, serta pentingnya berpikir kritis dalam memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan.

Jakarta, 17 Maret (ANTARA) - Perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI) menimbulkan beragam persepsi, sebagian di antaranya diiringi kecemasan. Namun, pakar keamanan siber Dr. I Made Wiryana dan Prof. Dr. Masduki, Guru Besar Ilmu Komunikasi, memberikan pandangan yang menyeimbangkan, menekankan peran AI sebagai mitra, bukan majikan bagi manusia.
Seminar beberapa waktu lalu membahas mitos seputar AI, termasuk anggapan AI sebagai "instant intelligence". Dr. Made menjelaskan, AI sebenarnya meniru pola data yang diberikan manusia, layaknya murid yang menghafal dan menjawab pertanyaan. AI membutuhkan "guru" untuk memberi data dan informasi, sehingga anggapan AI sebagai kecerdasan instan adalah keliru.
Lebih lanjut, Dr. Made menjelaskan bahwa AI bukanlah teknologi baru. Konsep perceptron, cikal bakal AI, telah dikembangkan sejak 1943. Istilah "Artificial Intelligence" sendiri baru muncul pada 1945. Perkembangan teknologi AI hanya semakin menyempurnakan kemampuannya seiring waktu, bukan sebuah lompatan revolusioner yang tiba-tiba muncul.
AI: Augmented Intelligence, Bukan Pengganti Manusia
Dr. Made menjelaskan bahwa AI lebih tepat disebut sebagai augmented intelligence. AI membantu mempercepat pekerjaan manusia, namun keputusan dan konsep tetap berada di tangan manusia. AI membantu pekerjaan manual, bukan konseptual. Dalam jurnalistik misalnya, AI membantu menyusun berita berdasarkan data, tetapi jurnalislah yang menentukan sudut pandang, etika, dan nilai berita.
Contoh lain, AI mampu menciptakan musik dengan harmoni sempurna, tetapi belum tentu mampu menghasilkan karya yang sarat emosi dan dinamika layaknya karya manusia. Ketidaksempurnaan manusia, yang seringkali justru menjadi sumber kreativitas dan inovasi, masih menjadi pembeda utama.
Prof. Dr. Masduki menambahkan, perkembangan AI berkelindan dengan dinamika Teori Komunikasi. Praktik komunikasi kini telah memasuki era mediatisasi, di mana manusia berinteraksi bahkan diintervensi oleh teknologi. Kajian komunikasi pun berkembang ke arah beyond human communication, yang melibatkan interaksi antara manusia dan AI.
Kesempurnaan AI: Sebuah Kelemahan
Salah satu ciri sekaligus kelemahan AI adalah kesempurnaannya yang berlebihan. Berbeda dengan manusia yang berpotensi melakukan kesalahan, AI selalu tepat dan mudah dikenali polanya. Kesalahan manusia, justru seringkali melahirkan inovasi dan kreativitas. Dalam seni, banyak karya besar lahir dari ketidaksempurnaan.
AI mungkin mampu menciptakan musik yang harmonis sempurna, tetapi belum tentu mampu menghasilkan karya yang menyentuh hati seperti karya manusia. Emosi dan dinamika yang terdapat dalam karya seni manusia masih sulit ditiru oleh AI.
Riset ilmu komunikasi kini mempertanyakan bagaimana pengguna AI berinteraksi dengan chatbot, mencurahkan perasaan ke asisten virtual, atau bagaimana AI menggantikan hubungan antarpribadi. Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan dinamika kajian komunikasi yang terus berkembang seiring kemajuan teknologi.
AI dalam Konteks Masyarakat 5.0
Perkembangan AI sejalan dengan konsep Masyarakat 5.0, yang menekankan pemanfaatan AI secara bijak. Manusia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada AI tanpa berpikir kritis. AI adalah alat bantu pemberdayaan, bukan pengganti peran manusia. AI mempermudah dan mempercepat pekerjaan, tetapi kreativitas, otoritas pengambilan keputusan, dan pemikiran kritis tetap menjadi ranah manusia.
Dr. Reza Praditya Yudha, Kaprodi Ilmu Komunikasi Kampus PPU-Universitas Gunadarma, menyimpulkan bahwa AI adalah mitra yang kuat, tetapi tidak boleh menjadi "bos". Manusia harus tetap mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya. Di balik setiap kemajuan teknologi, tetap ada manusia yang menentukan arah dan maknanya. Kecemasan akan penggantian peran manusia oleh AI perlu diimbangi dengan pemahaman yang tepat tentang kemampuan dan keterbatasan AI.