Beban Biaya Penyakit Akibat Rokok Jauh Lebih Tinggi dari Pajak Iklannya
Kementerian Kesehatan mengungkapkan, biaya pengobatan penyakit akibat rokok di banyak daerah jauh lebih besar daripada penerimaan pajak iklan rokok, bahkan mencapai angka miliaran rupiah.

Jakarta, 20 Februari 2024 - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan fakta mengejutkan terkait dampak ekonomi dari konsumsi rokok di Indonesia. Beban biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi penyakit akibat rokok di berbagai daerah ternyata jauh lebih tinggi daripada penerimaan pajak iklan rokok. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes, dr. Benget Saragih, dalam temu media di Jakarta.
Menurut dr. Benget, disparitas ini sangat signifikan. Sebagai contoh, di beberapa daerah, penerimaan pajak iklan rokok hanya sekitar Rp150 juta, sementara pengeluaran untuk penanganan penyakit akibat rokok mencapai angka fantastis, yakni kurang lebih Rp5,4 miliar. Ini menunjukkan betapa besarnya beban yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat akibat konsumsi rokok.
Lebih lanjut, dr. Benget memaparkan data yang diperoleh dari kepala dinas kesehatan di 50 kabupaten/kota. Data tersebut menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk rokok menempati urutan teratas, bahkan melampaui pengeluaran untuk makanan sehat bergizi. Kondisi ini sangat memprihatinkan, terutama di daerah-daerah yang pendapatannya dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) relatif kecil dibandingkan dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi dampak kesehatan akibat merokok.
Dampak Ekonomi Rokok: Angka yang Mencengangkan
Data yang lebih besar lagi dipaparkan oleh dr. Benget. Hasil survei tahun 2017 menunjukkan bahwa penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp147 triliun. Namun, di sisi lain, pengeluaran negara untuk menanggulangi 21 jenis penyakit akibat merokok mencapai angka yang jauh lebih besar, yaitu Rp435 triliun. Angka ini mencakup biaya perawatan rawat jalan dan rawat inap, serta kerugian ekonomi akibat produktivitas yang hilang karena sakit.
"Ada 21 penyakit akibat perilaku merokok, termasuk rawat jalan dan rawat inap. Kemudian dampaknya itu, karena dia tidak bekerja (akibat sakit), jadi kebutuhan sehari-hari mereka hilang kan, tidak terpenuhi, sehingga dari yang dihisap itu (rokok), mereka bisa kehilangan pendapatan," tutur dr. Benget menjelaskan dampak luas dari kebiasaan merokok.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Kemenkes menekankan pentingnya implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PP ini mengatur secara ketat tentang rokok elektronik maupun rokok konvensional, sebagai upaya untuk mengurangi konsumsi dan dampak negatifnya.
Upaya Kemenkes dalam Mengurangi Dampak Rokok
Selain itu, Kemenkes juga tengah berupaya meningkatkan persentase peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok dari 30-40 persen menjadi 80 persen. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok.
Penerapan standar kemasan rokok juga menjadi fokus Kemenkes. "Standardisasi kemasan itu bisa mengurangi daya tarik produk, meningkatkan efektivitas kampanye untuk mengurangi perokok, serta membantu menurunkan perokok baru," jelas dr. Benget.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan jumlah perokok di Indonesia mencapai 70,2 juta jiwa, dengan 63,1 juta perokok dewasa dan 5,9 juta perokok anak (usia 10-18 tahun). Indonesia merupakan pasar rokok terbesar ketiga di dunia, namun ironisnya, enam dari sepuluh kematian di Indonesia disebabkan oleh perilaku merokok.
Dari data tersebut terlihat jelas bahwa upaya pengendalian dampak negatif rokok harus lebih ditingkatkan. Tidak hanya dari sisi regulasi, tetapi juga dari sisi edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat agar menyadari bahaya merokok dan dampaknya terhadap kesehatan dan perekonomian negara.